Pendidikan (Negara) Kita

20 March 2019 | comments






Postingan di fb, lima tahun lalu...
Dan masih sangat relevan 😎

******************************

DALAM CENGKERAMAN ILMU DASAR

(RHENALD KASALI, Guru Besar Universitas Indonesia)

SETIAP bangsa punya pilihan: melahirkan atlet bermedali emas atau perenang yang tak pernah menyentuh air; melahirkan sarjana yang tahu ke mana langkah dibawa atau sekadar membawa ijazah.

Tak termungkiri, negeri ini butuh lebih banyak orang yang bisa membuat ketimbang pandai berdebat, bertindak dalam karya ketimbang hanya protes.Tak banyak yang menyadari universitas hebat bukan hanya diukur dari jumlah publikasinya, melainkan juga dari jumlah paten dan impak pada komunitasnya.

Pendidikan kita masih berkutat di seputar kertas. Kita baru mahir memindahkan pengetahuan dari buku teks ke lembar demi lembar kertas: makalah, karya ilmiah, skripsi, atau tesis. Kita belum menanamnya dalam tindakan pada memori otot, myelin.

Seorang mahasiswa dapat nilai A dalam kelas pemasaran bukan karena dia bisa menerapkan ilmu itu ke dalam hidupnya, minimal memasarkan dirinya, atau memasarkan produk orang lain, melainkan karena ia sudah bisa menulis ulang isi buku ke lembar-lembar kertas ujian.

Pendidikan tinggi sebenarnya bisa dibagi dalam dua kelompok besar: dasar dan terapan. Pendidikan dasar itulah yang kita kenal sejak di SD: matematika, kimia, biologi, fisika, ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Terapannya bisa berkembang menjadi ilmu kedokteran, teknik sipil, ilmu komputer, manajemen, desain, perhotelan, dan seterusnya.

Kedua ilmu itu sangat dibutuhkan bangsa memajukan peradaban. Namun, investasi untuk membangun ilmu dasar amat besar, membutuhkan tradisi riset dan sumber daya manusia bermutu tinggi. Siapa menguasai ilmu dasar ibaratnya mampu menguasai dunia dengan universitas yang menarik ilmuwan terbaik lintas bangsa. Negara-negara yang berambisi menguasainya punya kebijakan imigrasi yang khas dan didukung pusat keuangan dan inovasi progresif.

Dengan bekal ilmu dasar yang kuat, bangsa besar membentuk ilmu terapan. Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris adalah negara yang dibangun dengan keduanya. Namun, sebagian negara di Eropa dan Asia memilih jalan lebih realistis: fokus pada studi ilmu terapan. Swiss fokus dengan ilmu terapan dalam bidang manajemen perhotelan, kuliner, dan arloji. Thailand dengan ilmu terapan pariwisata dan pertanian. Jepang dengan elektronika. Singapura dalam industri jasa keuangannya.

Tentu terjadi pergulatan besar agar ilmu terapan dapat benar-benar diterapkan. Pada mulanya ilmu terapan dikembangkan di perguruan tinggi untuk mendapat dana riset dan menjembatani teori dengan praktik. Akan tetapi, mindset para ilmuwan tetaplah ilmu dasar yang penekanannya ada pada metodologi dan statistik untuk mencari kebenaran ilmiah yang buntutnya ialah publikasi ilmiah.

Melalui pergulatan besar, program studi terapan berhasil keluar dari perangkap ilmu dasar. Ilmu Komputer keluar dari Fakultas Matematika dan Manajemen menjadi Sekolah Bisnis. Dari lulusan dengan ”keterampilan kertas”, mereka masuk pada karya akhir berupa aplikasi, portofolio, mock up, desain, dan laporan pemecahan masalah.

Metodologi dipakai, tetapi validitas eksternal (impak dan aplikasi) diutamakan. Hanya pada program doktoral metodologi riset yang kuat diterapkan. Itu pun banyak ilmuwan terapan yang meminjam ilmu dasar atau ilmu terapan lain sehingga terbentuk program multidisiplin seperti arsitektur yang dijodohkan dengan antropologi atau arkeologi, akuntansi dengan ilmu keuangan.

Anak-anak kita

Kemerdekaan yang diraih program studi ilmu terapan di perguruan tinggi melahirkan revolusi pada tingkat pendidikan dasar. Bila mengunjungi pendidikan anak-anak usia dini, TK, dan SD di mancanegara, Anda akan melihat kontras dengan di sini. Alih-alih baca-tulis-hitung dan menghafal, mereka mengajarkan executive functioning, yang melatih anak-anak mengelola proses kognisi (memori kerja, reasoning, kreativitas-adaptasi, pengambilan keputusan, dan perencanaan-eksekusi).

Sekarang jelas mengapa kita mengeluh sarjana tak siap pakai: pendidikan didominasi kultur ilmu dasar yang serba kertas dan mengabaikan aplikasi. Perhatikan, Indonesia masih menjadi negara yang mewajibkan lulusan sekolah bisnis (MM) menulis tesis yang pengujinya getol memeriksa validitas internal dan metodologi yang sempit. Kegetolan ini juga terjadi pada banyak penguji program studi perhotelan atau terapan lain yang merasa kurang ilmiah kalau tidak ada pengolahan data secara saintifik.

Saya ingin menegaskan: hal itu hanya terjadi pada negara yang ilmu terapannya masih terbelenggu mindset ilmu dasar. Keluhannya sama: tak siap pakai, kalah dalam persaingan global.

Pertanyaannya hanya satu, kita biarkan terus seperti ini atau dengan legawa kita mulai pembaruan agar para sarjana ilmu terapan mampu menerapkan ilmunya? Itu terpulang pada kesadaran kita, bukan kesombongan atau ego ilmiah.

- Kompas, 18 Maret 2014

Hanya Hal Kecil

17 March 2019 | comments

Iya...hal kecil dan sepele. Tapi punya pengaruh besar dalam hubungan sosial kita. Buat yang beum terbiasa, yuk...lakukan segera 🤗


Insiden Masjid Annur

16 March 2019 | comments

Tak bisa menahan sedih dan perasaan sejenis, sejak membaca dan mengikuti berita serangan teroris di mesjid An-Nuur, Selandia Baru.

Bagaimanapun, ini adalah salah satu peristiwa dari milyaran kejadian yang sudah tertulis di Lauh Mahfuz, jauh sebelum bumi ini diciptakan.

Tak ada kejadian tanpa hikmah dan ibrah yang bisa diambil.
Tulisan di bawah ini adalah salah satunya.

**********************



Sejak semalam, Hampir semua masjid di negeri2 Barat jamaahnya bertambah hingga 3 kali lipat. Sebagian ummat Islam disana yang sebelumnya tidak pernah atau jarang terlihat di masjid, Sejak maghrib kemarin hingga subuh ini berebut datang menghadap kepadaNya.

Mereka memenuhi rumah rumah Allah bukan sekedar untuk menunjukkan solidaritas. Lebih jauh lagi mereka sedang mengadu kepada Allah tentang kedzaliman demi kedzaliman yang terjadi sejak hari-hari sebelum ini, Dengan puncaknya kemarin itu di New Zealand.

Sekaligus mereka berdoa, Berharap perlindungan, Serta memasrahkan segalanya, Yang akan terjadi hari ini dan di masa depan, KepadaNya.

Temen saya di Australia, Yang selama ini hidupnya urakan, Mendadak 3 waktu terakhir hadir shaf depan di masjid dekat rumah. Dia marah besar. Hpnya dibanting saking gemasnya baca berita New Zealand. Tapi dengan sebab kemarahan itu rupanya Allah turunkan hidayah.

Ibunya chatting sama saya pagi tadi. Nangis-nangis bahagia anaknya shalat maghrib isya subuh di masjid. Bahkan sejak kemarin terus nginep disana. Tilawah dan banyak merenung. Padahal sebelum ini dia ga kenal shalat kecuali jumat dan Iedul Fitri.

Si anak, Dalam kemaksiatan dan kebangsatan hidup yang selama ini dijalani, Ternyata masih menyimpan ghirah, Kecemburuan, Pada Islam dan kaum muslimin. Makanya kemarin itu tubuhnya bergetar hebat. Emosinya tak terbendung, Lalu memutuskan pergi ke masjid, Menjaganya sampai pagi bersama belasan muslim lainnya.

Alasan kawan saya tadi sederhana saja :

"Serangan kemarin kemungkinan besar akan memicu bangkitnya ekstrimis-ekstrimis sayap kanan. Dan pasti rumah-rumah Allah yang kembali akan menjadi sasaran. Jadi kita harus menjaganya sampai suasana reda.

Lagipula saya ini pendosa. Sudah terlalu banyak dosa saya. Kalau misalnya masjid ini diserang, Semoga saya ada ketika itu. Lalu saya menghentikan serangan tersebut atau gugur di tangannya sebagai syuhada.

Mana saja yang menjadi takdir Allah, Saya sudah siap. Semoga dengan itu Allah mengampuni saya"

(Fatih Yazid Attamimi)

Tolong Orang

10 March 2019 | comments



Pengen ditolong Allah?
Tolong orang lain dulu ...

Ceramah ust. Hanan Attaki

Keren nih 😍
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2242536769345787&id=1880374492228685
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Kehidupan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger