Oleh Ustadz Budi Ashari, Lc
Bukti cinta orang tua
sepanjang jalan adalah mereka memikirkan masa depan anaknya. Mereka
tidak ingin anak-anak kelak hidup dalam kesulitan. Persiapan harta pun
dipikirkan masak-masak dan maksimal.
Para orang tua sudah ada yang
menyiapkan tabungan, asuransi bahkan perusahaan. Rumah pun telah
dibangunkan, terhitung sejumlah anak-anaknya. Ada juga yang masih
bingung mencari-cari bentuk penyiapan masa depan terbaik. Ada yang
sedang memilih perusahaan asuransi yang paling aman dan menjanjikan.
Tetapi ada juga yang tak tahu harus berbuat apa karena ekonomi hariannya
pun pas-pasan bahkan mungkin kurang.
Bagi yang telah menyiapkan
tabungan dan asuransi, titik terpenting yang harus diingatkan adalah
jangan sampai kehilangan Allah. Hitungan detail tentang biaya masa depan
tidak boleh menghilangkan Allah yang Maha Tahu tentang masa depan.
Karena efeknya sangat buruk. Kehilangan keberkahan. Jika keberkahan
sirna, harta yang banyak tak memberi manfaat kebaikan sama sekali bagi
anak-anak kita. Lihatlah kisah berikut ini:
Dalam buku
Alfu Qishshoh wa Qishshoh oleh Hani Al Hajj dibandingkan tentang dua
khalifah di jaman Dinasti Bani Umayyah: Hisyam bin Abdul Malik dan Umar
bin Abdul Aziz. Keduanya sama-sama meninggalkan 11 anak, laki-laki dan
perempuan. Tapi bedanya, Hisyam bin Abdul Malik meninggalkan jatah
warisan bagi anak-anak laki masing-masing mendapatkan 1 juta Dinar.
Sementara anak-anak laki Umar bin Abdul Aziz hanya mendapatkan setengah
dinar.
Dengan peninggalan melimpah dari Hisyam bin Abdul Malik
untuk semua anak-anaknya ternyata tidak membawa kebaikan. Semua
anak-anak Hisyam sepeninggalnya hidup dalam keadaan miskin. Sementara
anak-anak Umar bin Abdul Aziz tanpa terkecuali hidup dalam keadaan kaya,
bahkan seorang di antara mereka menyumbang fi sabilillah untuk
menyiapkan kuda dan perbekalan bagi 100.000 pasukan penunggang kuda.
Apa yang membedakan keduanya? Keberkahan.
Kisah ini semoga bisa mengingatkan kita akan bahayanya harta banyak
yang disiapkan untuk masa depan anak-anak tetapi kehilangan keberkahan. 1
juta dinar (hari ini sekitar Rp 2.000.000.000.000,-) tak bisa sekadar
untuk berkecukupan apalagi bahagia. Bahkan mengantarkan mereka menuju
kefakiran.
Melihat kisah tersebut kita juga belajar bahwa tak
terlalu penting berapa yang kita tinggalkan untuk anak-anak kita.
Mungkin hanya setengah dinar (hari ini sekitar Rp 1.000.000,-) untuk
satu anak kita. Tapi yang sedikit itu membaur dengan keberkahan. Ia akan
menjadi modal berharga untuk kebesaran dan kecukupan mereka kelak.
Lebih dari itu, membuat mereka menjadi shalih dengan harta itu.
Maka ini hiburan bagi yang hanya sedikit peninggalannya.
Bahkan berikut ini menghibur sekaligus mengajarkan bagi mereka yang tak
punya peninggalan harta. Tentu sekaligus bagi yang banyak
peninggalannya.
Bacalah dua ayat ini dan rasakan kenyamanannya,
Ayat yang pertama,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ
وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ
رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً
مِنْ رَبِّكَ
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang
anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi
mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Tuhanmu
menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (Qs. Al
Kahfi: 82)
Ayat ini mengisahkan tentang anak yatim yang hartanya
masih terus dijaga Allah, bahkan Allah kirimkan orang shalih yang
membangunkan rumahnya yang nyaris roboh dengan gratis. Semua penjagaan
Allah itu sebabnya adalah keshalihan ayahnya saat masih hidup.
Al Qurthubi rahimahullah menjelaskan,
“Ayat ini menunjukkan bahwa Allah ta’ala menjaga orang shalih pada
dirinya dan pada anaknya walaupun mereka jauh darinya. Telah
diriwayatkan bahwa Allah ta’ala menjaga orang shalih pada tujuh
keturunannya.”
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menukil kalimat Hannadah binti Malik Asy Syaibaniyyah,
“Disebutkan bahwa kedua (anak yatim itu) dijaga karena kesholehan
ayahnya. Tidak disebutkan kesholehan keduanya. Antara keduanya dan ayah
yang disebutkan keshalihan adalah 7 turunan. Pekerjaannya dulu adalah
tukang tenun.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menerangkan,
“Kalimat:
(dahulu ayah keduanya orang yang sholeh) menunjukkan bahwa seorang yang
shalih akan dijaga keturunannya. Keberkahan ibadahnya akan melingkupi
mereka di dunia dan akhirat dengan syafaat bagi mereka, diangkatnya
derajat pada derajat tertinggi di surga, agar ia senang bisa melihat
mereka, sebagaimana dalam Al Quran dan Hadits. Said bin Jubair berkata
dari Ibnu Abbas: kedua anak itu dijaga karena keshalihan ayah mereka.
Dan tidak disebutkan kesholehan mereka. Sebagaimana yang telah
dijelaskan bahwa ia adalah ayahnya jauh. Wallahu A’lam
Ayat yang kedua,
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al
Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (Qs. Al A’raf: 196)
Ayat ini mengirimkan keyakinan pada orang beriman bahwa Allah yang
kuasa menurunkan al Kitab sebagai bukti rahmatNya bagi makhlukNya, Dia
pula yang akan mengurusi, menjaga dan menolong orang-orang shalih dengan
kuasa dan rahmatNya. Sekuat inilah seharusnya keyakinan kita sebagai
orang beriman. Termasuk keyakinan kita terhadap anak-anak kita
sepeninggal kita.
Untuk lebih jelas, kisah orang mulia berikut ini mengajarkan aplikasinya.
Ketika Umar bin Abdul Aziz telah dekat dengan kematian, datanglah
Maslamah bin Abdul Malik. Ia berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, engkau
telah mengosongkan mulut-mulut anakmu dari harta ini. Andai anda
mewasiatkan mereka kepadaku atau orang-orang sepertiku dari
masyarakatmu, mereka akan mencukupi kebutuhan mereka.”
Ketika Umar mendengar kalimat ini ia berkata, “Dudukkan saya!”
Mereka pun mendudukkannya.
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Aku telah mendengar ucapanmu, wahai
Maslamah. Adapun perkataanmu bahwa aku telah mengosongkan mulut-mulut
anakku dari harta ini, demi Allah aku tidak pernah mendzalimi hak mereka
dan aku tidak mungkin memberikan mereka sesuatu yang merupakan hak
orang lain. Adapun perkataanmu tentang wasiat, maka wasiatku tentang
mereka adalah:
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
Anaknya Umar satu dari dua jenis: shalih maka Allah akan mencukupinya
atau tidak sholeh maka aku tidak mau menjadi orang pertama yang
membantunya dengan harta untuk maksiat kepada Allah.” (Umar ibn Abdil
Aziz Ma’alim At Tajdid wal Ishlah, Ali Muhammad Ash Shalaby)
Begitulah ayat bekerja pada keyakinan seorang Umar bin Abdul Aziz. Ia
yang telah yakin mendidik anaknya menjadi shalih, walau hanya setengah
dinar hak anak laki-laki dan seperempat dinar hak anak perempuan, tetapi
dia yakin pasti Allah yang mengurusi, menjaga dan menolong anak-anak
sepeninggalnya. Dan kisah di atas telah menunjukkan bahwa keyakinannya
itu benar.
Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang khalifah besar
yang berhasil memakmurkan masyarakat besarnya. Tentu dia juga berhak
untuk makmur seperti masyarakatnya. Minimal sama, atau bahkan ia punya
hak lebih sebagai pemimpin mereka.
Tetapi ternyata ia tidak
meninggalkan banyak harta. Tak ada tabungan yang cukup. Tak ada usaha
yang mapan. Tak ada asuransi seperti hari ini.
Tapi tidak ada
sedikit pun kekhawatiran. Tidak tersirat secuil pun rasa takut. Karena
yang disyaratkan ayat telah ia penuhi. Ya, anak-anak yang shalih hasil
didikannya.
Maka izinkan kita ambil kesimpulannya:
Bagi
yang mau meninggalkan jaminan masa depan anaknya berupa tabungan,
asuransi atau perusahaan, simpankan untuk anak-anak dari harta yang tak
diragukan kehalalannya.
Hati-hati bersandar pada harta dan hitung-hitungan belaka. Dan lupa akan Allah yang Maha Mengetahui yang akan terjadi.
Jaminan yang paling berharga –bagi yang berharta ataupun yang tidak-,
yang akan menjamin masa depan anak-anak adalah: keshalihan para ayah dan
keshalihan anak-anak.
Dengan keshalihan ayah, mereka dijaga.
Dan dengan keshalihan anak-anak, mereka akan diurusi, dijaga, dan ditolong Allah.
***************
gambar dari sini