Jumat kemaren, suami pulang terlambat. Bukan, bukan karena lembur. Tapi
karena kereta yang ditumpangi terlambat datang karena satu masalah.
Ya, masalah apalagi kalau bukan orang bunuh diri di rel kereta.
Secara kereta disini kagak pernah terlambat biar kate itungan detik. Kecuali kalo itu tadi, ada yg bunuh diri.
Duluuuu,
waktu saya masih tinggal di pinggiran Tokyo. Saya pernah ngalamin
sendiri, betapa menjengkelkannya kalau kereta berhenti di tengah jalan
gara2 ada orang yang pengen mati konyol di rel. Ceritanya, kita
sekeluarga rencana liburan ke Indonesia. Nah, jarak dari rumah ke
Narita, airport utama di Tokyo, sekitar 3 jam dengan kereta. Biasanya
kita naik kereta lebih awal, supaya nyampe di bandaranya sekitar 2 jam
sebelum boarding. Yah, buat jaga-jaga. Minimal masih ada waktu sejam-an
untuk duduk2 nyante.
Tapi karena waktu itu, kitanya agak lelet
persiapan berangkat. Walhasil kita naik kereta dengan jadwal yang
mepet. Perkiraan nyampe di narita bakal cuma punya waktu 1 jam sebelum
take-off. Belum waktu untuk jalan kaki dari stasiun ke tempat check-in,
ngambil kopor (disini kopor dikirim ke bandara sehari sebelumnya, spy
ga repot bawa2 gembolan dlm kereta), check-in, ngantri and nulis2 di
imigrasi....
Ternyata, dalam perjalanan, kereta terpaksa
berhenti. Karena ada orang yang lagi lari2 di lintasan rel, dan sedang
dalam pengejaran petugas. Haayyyahh....lagi2 orang yang niat mati
konyol. Saya dan suami cuma bisa berdoa dalam hati, mudah2an tu orang
cepet ketangkap. Kan gawat kalo sampe ketinggalan pesawat. Dalam hati
saya rada ngutuk2 juga. Napa sih ni orang, bunuh diri aja kudu
ngerepotin orang banyak. Harus di lintasan rel. Kenapa ga kayak di
Indonesia gitu loh. Cukup nenggal obat nyamuk, atau nyangkutin leher di
tali. Beres kan? Murmer lagi.....
Asal tau aja, orang yg mati
bunuh diri di rel kereta itu, bakal morotin duit keluarga yang
ditinggal. Karena si keluarga harus membayar kerugian yang ditimbulkan
karena tertundanya sekian banyak jadwal keberangkatan kereta. Dan ini
jumlahnya besaaaaaar sekaleee.
Tapi syukurnya, selama ini saya
belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri (...iyalah, masa mata
kepala orang ^-^), orang yang mati kelindes kereta. Teman saya pernah
tuh jadi saksi mata. Dan sampai sekarang, dia masih trauma untuk naik
kereta. (padahal di tokyo, kereta termasuk transportasi utama loh).
Jadinya temen saya itu, ngga mau pergi jauh2. Paling ngiter2 ke tempat
yang masih bisa dijangkau dengan sepeda.
Ngomong-ngomong soal
bunuh diri, Jepang termasuk negara dengan angka kematian bunuh diri yg
tinggi. Bingung juga yak, ini negara makmur, kaya, aman damai bin
tentram sejahtera. Apa yang kurang?
Dalam satu seminar Islam di
mesjid Turki, seorang profesor asal Jepang yang memiliki interest
tinggi terhadap Islam, -sayangnya belum masuk Islam-, mengatakan satu
hal. Masyarakat Jepang sering memilih mengakhiri kehidupannya dengan
bunuh diri. Karena, mereka tidak memiliki tempat untuk menyandarkan
diri. Mereka tidak memiliki sesuatu yang bisa diharapkan untuk
menyelesaikan masalah mereka.
Berbeda dengan umat Islam. Mereka
punya Tuhan. Tuhan yang bisa dijadikan tempat untuk mengadu. Tuhan
yang bisa dijadikan tempat menggantungkan semua harapan. Tiba-tiba saya
teringat dengan kawan-kawan saya muslimah Jepang. Wajah mereka
berbeda, dengan orang2 yg sering saya temui di jalan. Tidak berlebihan
kalau saya katakan wajah mereka lebih teduh dan bersinar. Dengan balutan
jilbab dan baju muslimah yang rapi, mereka tampak seperti mutiara. Di
tengah-tengah perempuan yang hanya memakai baju alakadarnya. Apalagi di
musim panas yang begitu panaaaass.
Jadi inget juga, lagi
pengajian bersama mereka. Ketika ada kuesioner tentang apa yang mereka
rasakan sebelum dan sesudah berIslam. Rata-rata mereka menulis, merasa
sangat bahagia dan sangat nyaman, karena sekarang sudah memiliki Tuhan.
Walaupun keluarga dan kawan2 dekat menjauh sejak mereka masuk Islam,
tapi tetap terasa aman, karena selalu ada Tuhan bersama diri mereka.
Subhanallah.
Kalau seluruh penduduk di negeri sakura ini kembali
kepada fitrahnya. Saya yakin, angka bunuh diri pasti menurun dengan
drastis. Solusinya memang cuma satu. Kembali kepada Sang Pencipta.
Menghadapkan hati dan diri sepenuhnya kepada wajah-Nya. Memeluk kembali
rengkuhan Kasih Sayang-Nya.
Post a Comment