Bunuh Diri

10 December 2009 | comments

Jumat kemaren, suami pulang terlambat. Bukan, bukan karena lembur. Tapi karena kereta yang ditumpangi terlambat datang karena satu masalah. Ya, masalah apalagi kalau bukan orang bunuh diri di rel kereta.
Secara kereta disini kagak pernah terlambat biar kate itungan detik. Kecuali kalo itu tadi, ada yg bunuh diri.

Duluuuu, waktu saya masih tinggal di pinggiran Tokyo. Saya pernah ngalamin sendiri, betapa menjengkelkannya kalau kereta berhenti di tengah jalan gara2 ada orang yang pengen mati konyol di rel. Ceritanya, kita sekeluarga rencana liburan ke Indonesia. Nah, jarak dari rumah ke Narita, airport utama di Tokyo, sekitar 3 jam dengan kereta. Biasanya kita naik kereta lebih awal, supaya nyampe di bandaranya sekitar 2 jam sebelum boarding. Yah, buat jaga-jaga. Minimal masih ada waktu sejam-an untuk duduk2 nyante.

Tapi karena waktu itu, kitanya agak lelet persiapan berangkat. Walhasil kita naik kereta dengan jadwal yang mepet. Perkiraan nyampe di narita bakal cuma punya waktu 1 jam sebelum take-off. Belum waktu untuk jalan kaki dari stasiun ke tempat check-in, ngambil kopor (disini kopor dikirim ke bandara sehari sebelumnya, spy ga repot bawa2 gembolan dlm kereta), check-in, ngantri and nulis2 di imigrasi....

Ternyata, dalam perjalanan, kereta terpaksa berhenti. Karena ada orang yang lagi lari2 di lintasan rel, dan sedang dalam pengejaran petugas. Haayyyahh....lagi2 orang yang niat mati konyol. Saya dan suami cuma bisa berdoa dalam hati, mudah2an tu orang cepet ketangkap. Kan gawat kalo sampe ketinggalan pesawat. Dalam hati saya rada ngutuk2 juga. Napa sih ni orang, bunuh diri aja kudu ngerepotin orang banyak. Harus di lintasan rel. Kenapa ga kayak di Indonesia gitu loh. Cukup nenggal obat nyamuk, atau nyangkutin leher di tali. Beres kan? Murmer lagi.....

Asal tau aja, orang yg mati bunuh diri di rel kereta itu, bakal morotin duit keluarga yang ditinggal. Karena si keluarga harus membayar kerugian yang ditimbulkan karena tertundanya sekian banyak jadwal keberangkatan kereta. Dan ini jumlahnya besaaaaaar sekaleee.

Tapi syukurnya, selama ini saya belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri (...iyalah, masa mata kepala orang ^-^), orang yang mati kelindes kereta. Teman saya pernah tuh jadi saksi mata. Dan sampai sekarang, dia masih trauma untuk naik kereta. (padahal di tokyo, kereta termasuk transportasi utama loh). Jadinya temen saya itu, ngga mau pergi jauh2. Paling ngiter2 ke tempat yang masih bisa dijangkau dengan sepeda.

Ngomong-ngomong soal bunuh diri, Jepang termasuk negara dengan angka kematian bunuh diri yg tinggi. Bingung juga yak, ini negara makmur, kaya, aman damai bin tentram sejahtera. Apa yang kurang?

Dalam satu seminar Islam di mesjid Turki, seorang profesor asal Jepang yang memiliki interest tinggi terhadap Islam, -sayangnya belum masuk Islam-, mengatakan satu hal. Masyarakat Jepang sering memilih mengakhiri kehidupannya dengan bunuh diri. Karena, mereka tidak memiliki tempat untuk menyandarkan diri. Mereka tidak memiliki sesuatu yang bisa diharapkan untuk menyelesaikan masalah mereka.

Berbeda dengan umat Islam. Mereka punya Tuhan. Tuhan yang bisa dijadikan tempat untuk mengadu. Tuhan yang bisa dijadikan tempat menggantungkan semua harapan. Tiba-tiba saya teringat dengan kawan-kawan saya muslimah Jepang. Wajah mereka berbeda, dengan orang2 yg sering saya temui di jalan. Tidak berlebihan kalau saya katakan wajah mereka lebih teduh dan bersinar. Dengan balutan jilbab dan baju muslimah yang rapi, mereka tampak seperti mutiara. Di tengah-tengah perempuan yang hanya memakai baju alakadarnya. Apalagi di musim panas yang begitu panaaaass.

Jadi inget juga, lagi pengajian bersama mereka. Ketika ada kuesioner tentang apa yang mereka rasakan sebelum dan sesudah berIslam. Rata-rata mereka menulis, merasa sangat bahagia dan sangat nyaman, karena sekarang sudah memiliki Tuhan. Walaupun keluarga dan kawan2 dekat menjauh sejak mereka masuk Islam, tapi tetap terasa aman, karena selalu ada Tuhan bersama diri mereka. Subhanallah.

Kalau seluruh penduduk di negeri sakura ini kembali kepada fitrahnya. Saya yakin, angka bunuh diri pasti menurun dengan drastis. Solusinya memang cuma satu. Kembali kepada Sang Pencipta. Menghadapkan hati dan diri sepenuhnya kepada wajah-Nya. Memeluk kembali rengkuhan Kasih Sayang-Nya.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Kehidupan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger