Menikmati Sedih

31 January 2015 | comments



Sedih kok dinikmati??
Ya, ini sebenarnya kalimat penghibur. Terutama buat diri saya, yang baru saja mengalami kesedihan mendalam. Beberapa hari setelah kepergian papa, secara emosi, saya masih naik turun. Kadang sedih banget, terutama kalau keingat kenangan saat beliau masih ada. Tatapan mata, gaya bicara, cara berjalan, sampai ekspresi kalau lagi melucu dan bercanda masih melekat erat di hati saya. Kadang saya bisa melewati hari tanpa airmata. Saya bisa tenang, apalagi kalau ingat papa perginya dalam keadaan sangat baik dan insyaa Allah, beliau dalam keadaan lebih senang di alam barzakh sana.

Dan hari ini tepat dua minggu sudah papa meninggalkan kami. Gimanapun ini adalah musibah juga ujian yang terasa berat bagi saya, kehilangan orang tua yang sangat-sangat dicintai. Tapi ini bukan musibah terbesar, karena musibah terbesar adalah musibah yang menimpa keimanan. Sebagaimana yang Rasul saw sabdakan. Beliau berdoa dalam sebuah doa yang panjang, yang ujungnya adalah

“Ya Allah, Janganlah Engkau jadikan musibah yang menimpa kami dalam urusan agama kami, dan jangan pula Engkau jadikan (harta dan kemewahan) dunia sebagai cita-cita kami yg paling besar, dan tujuan utama dari ilmu yg kami miliki.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi)
Jangan Engkau jadikan musibah kami adalah musibah yang menimpa dien kami - See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2010/06/28/7506/nikmat-dan-musibah-terbesar-menurut-islam/;#sthash.HWh4tHHL.dpuf

Jangan Engkau jadikan musibah kami adalah musibah yang menimpa dien kami - See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2010/06/28/7506/nikmat-dan-musibah-terbesar-menurut-islam/;#sthash.HWh4tHHL.dpuf

". . .  Jangan Engkau jadikan musibah kami adalah musibah yang menimpa dien kami . . ." (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim. Syaikh Al-Albani menghasnakan hadits ini dalam Shahih al-Jaami') - See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2010/06/28/7506/nikmat-dan-musibah-terbesar-menurut-islam/;#sthash.HWh4tHHL.dpuf
". . .  Jangan Engkau jadikan musibah kami adalah musibah yang menimpa dien kami . . ." (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim. Syaikh Al-Albani menghasnakan hadits ini dalam Shahih al-Jaami') - See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2010/06/28/7506/nikmat-dan-musibah-terbesar-menurut-islam/;#sthash.HWh4tHHL.dpuf
Jadi, semestinya ini adalah peristiwa biasa. Setiap orang kemungkinan pernah mengalami ini, kehilangan orang yang dicintai. Entah itu orangtua, saudara kandung, anak sendiri, sahabat dekat atau siapapun yang ia cintai sepenuh hati. Dan, rasa sedih yang muncul, adalah sesuatu yang sangat sangat wajar.

Bahkan Rasul saw pun berduka dengan kematian isterinya tercinta, Khadijah ra. Juga ketika kehilangan sang buah hati, satu-satunya putra beliau saw, yang bernama Ibrahim. Dan sahabat-sahabat pun sangat-sangat bersedih, ketika Rasul saw wafat.

Sedih itu ngga apa-apa dinikmati, ngga apa-apa dirasakan. Itulah manusia. Dengan sisi emosinya yang Allah berikan, dia bisa merasakan gejolak jiwa berupa rasa sedih yang meluap-luap ketika kehilangan sesuatu yang ia cintai.

Selama,.... rasa sedihnya itu tidak membawanya menjadi orang yang marah dan memaki-maki Allah. Tidak mengubahnya menjadi hamba yang tidak tahu terima kasih kepada Penciptanya. Rasa sedih, harus diiringi dengan kesabaran. Ya, memang berat. Beraaat banget. Tapi justru disitulah, rasa percaya dan husnuzhon kita kepada Allah sedang diuji. Bahkan keimanan kita akan terlihat nyata, saat musibah menimpa. Bukan beriman namanya, kalau hanya taat saat senang, dan malah menjadi fasik ketika sedih dan susah.



Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-Ankabut:2-3)



Terus terang, selama ini saya memang sudah sering mendengar berita duka cita kematian orang tua kawan-kawan saya. Kurang lebih sejak lima tahun lalu, silih berganti berita duka itu datang. Saya sadar banget, saya pun harus bersiap-siap, kalau suatu saat saya akan mengalami duka yang sama. Walaupun tetap ada rasa khawatir, kira-kira siap ngga kalau masa itu datang. Saya pun mulai bersiap, dengan sering mendengar ceramah dan membaca artikel-artikel Islam seputar musibah. Salah satu ayat yang saya paksakan, untuk saya ingat, adalah:

Allah Ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Al-Hadid:22)

Kalau baca ayat ini, saya jadi tahu, kalau semua peristiwa, besar-kecil, baik yang telah, sedang dan akan terjadi, sudah tertulis di Lauh Mahfuzh. Jadi, daripada berlarut-larut dalam marah, kecewa, sedih berlebihan sampai disibukkan dengan menyesali atau mengutuk-ngutuk keadaan, mending diterima dengan lapang. Atau kalau belum bisa lapang, ya paksakan hati ini dengan kuat, untuk bisa lapang. Itu jauh lebih baik.

Bukankah Allah swt juga sudah berjanji, untuk orang-orang yang bersabar, dan tetap husnuzhon kepada Allah, bahwa ada pahala dan imbalan yang sangat besar dibalik musibah yang menimpa. Sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi : “Barangsiapa yang Aku ambil orang yang dicintainya dari penduduk dunia kemudian dia (bersabar sambil) mengharapkan pahala (dari-Ku), maka Aku akan menggantinya dengan surga” (HR. Bukhari)

Sungguh, ini bener-bener jadi hiburan buat saya. Selain selalu berusaha, terus menerus meresapi, menghayati dan meyakini sekuat-kuatnya, semuaaaaaaa yang Allah takdirkan dan timpakan terhadap diri ini adalah sebuah hadiah yang bertabur dengan hikmah dan kebaikan, selama kita yakin, kalau Allah itu amat sangat Maha Penyayang dan Pengasih terhadap hambanya. Allah SWT.....benar-benar tidak akan zholim kepada hamba-Nya, walau hanya seberat zarrah...

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (An-Nisa:40)

******

Sebenarnya, beberapa bulan sebelum kejadian meninggalnya papa secara mendadak, saya sedang tenggelam dengan kehidupan dunia. Saya sibuk dengan rutinitas, saya sibuk dengan aktifitas yang lebih cenderung melalaikan saya. Saya terbawa dan keasikan menuruti hawa nafsu. Kalaupun saya sholat, or ngaji, yaa....hanya sekedarnya. Ngga ada penghayatan, cuma sekedar gugurin kewajiban.

Sampai.... berita duka itu datang. Saya tersentak. Inilah saatnya saya menyerap dengan sepenuh hati, sepenuh akal pikiran, sepenuh jiwa raga, ayat-ayat yang sudah sering saya baca sebelumnya.
Saya tiba-tiba disadarkan dengan banyak hal yang sering saya lupakan.

Pertama, saya pasti...pasti akan mati. Entah kapan dan dimana tempatnya. Satu hal yang harus saya ingat, hanya dengan khusnul khotimah,  perjalanan panjang kita ke negeri akhirat, dengan seijin Allah swt akan dimudahkan dan dilancarkan. Mulai dari prosesi sakaratul maut, menjawab pertanyaan malaikat di alam kubur, sampai kemudahan dalam hisab di padang mahsyar, melewati shirath, dan terus melangkah ke pintu surga. Sebaliknya akan terjadi, ketika hidup berakhir dengan su'ul khotimah. (Naudzubillah  min zalik. Semoga Allah jauhkan kita dari kematian yang buruk dan Allah akhiri hidup kita dengan kematian yang baik dan dalam keadaan beribadah kepada-Nya.)

Saya juga harus sering meingatkan diri, bahwa yang namanya khusnul khotimah, harus diusahakan. Harus ada niat dan tekad yang kuat. Harus ada semangat yang dikawal. Harus sabar menjalani proses yang panjang. Harus ada doa yang selalu dipanjatkan. Dan itu sama sekali tidak mudah ! Perlu perjuangan keras. Perlu perencanaan. Ya, betul, perencanaan yang matang. Bukan seadanya, bukan sekedarnya. Bukan asal-asalan.

Perencanaan perlu bukan hanya untuk masalah finansial, kesehatan, atau pendidikan anak. Tapi, seperti apa akhir hidup yang diinginkan, juga harus dipikirkan. Caranya, jadikan khusnul khotimah sebagai satu target yang harus dicapai. Pacu hasrat dan emosi agar muncul gejolak dalam jiwa yang mengakibatkan kita menjadi sangat-sangat berambisi untuk bertemu Allah dalam kondisi yang baik. Maka kondisi itu, harus dijadikan sebagai satu kebiasaan. Dan setelah menjadi kebiasaan, tentu akan lebih mudah dan ringan untuk mengerjakannya.

Seperti perkataan seorang ulama besar,"Barangsiapa yang terbiasa melakukan sesuatu dalam hidupnya, niscaya ia diwafatkan dalam keadaan tersebut."

Ulama ini dalam hidupnya menyaksikan sekian banyak kejadian sakaratul maut. Ada yang sakarat sambil mulutnya sibuk menyebut angka-angka, yang ternyata ia adalah seorang pedagang yang semasa hidupnya cuma digunakan untuk menghitung keuntungan tapi melupakan zikir. Ada juga yang sakarat sambil menyenandungkan syair-syair dan lagu yang sering ia dengar. Ada juga yang sakarat saat sedang minum minuman keras, karena begitulah kebiasaannya sehari-hari. (Naudzubillah min dzalik. Semoga Allah menjauhkan kita dari hal itu.)

Ingin mati saat sholat, ya perbanyaklah sholat. Ingin mati ketika mulut sedang berdzikir, ya perbanyaklah dzikir. Ingin mati ketika tilawah, ya perbanyaklah tilawah. Ingin mati saat puasa, ya perbanyaklah puasa sunnah. Saya jadi teringat papa yang begitu semangat dan bercita-cita untuk mati saat beribadah, dan qadaruLlah, beliau wafat dengan kebiasaannya itu.

Kedua, bahwa, yang namanya sabar itu, adalah suatu keharusan. Suatu kewajiban. Kalau mengaku muslim, ya harus sabar. Suka ngga suka. Harus numbuhin sifat sabar. Saya harus terus latihan supaya bisa punya sabar yang terus menerus menetap dalam diri. Setiap saat dan dalam semua situasi dan kondisi. Pastinya berat dan susah. Apalagi buat orang yang ngga sabaran seperti saya. Tapi, kalau ngga dilatih, mana bisa berhasil?

Dan memang muslim itu harus punya minimal tiga sabar. Satu, sabar ketika harus terus menerus taat sama perintah Allah, harus maksain diri untuk terbiasa mengerjakan ibadah dengan rutin. Ya sholat, baca Qur-an, datang ke pengajian, rutin infak-sedekah, dll.  Sabar menjauhi maksiat, atau menjauhi hal yang kita anggap mubah, yang tanpa sadar malah membawa ke maksiat. Seperti nonton tivi, niatnya mau menghibur diri, eh ujung-ujungnya malah bikin jadi males sholat, males baca Qur'an. Yang terakhir, sabar waktu ditimpa musibah. Nah, ini juga berat, kalau ngga disiapin sejak awal. Siapinnya dengan banyak baca ayat-ayat tentang musibah dan sabar, seperti ayat ini:



Dan sungguh akan Kami berikan ujian kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al-Baqoroh: 155)

Ini salah satu ayat yang sering disitir sama papa saya. Kalau lagi nasehatin anaknya, yang masih sering ngga sabaran. Dan, ayat ini memang manjur sekali. Baru bisa diresapi dengan nikmat, pas ditimpa musibah seperti kemarin. Maasya Allah, benar-benar, harus usaha yang kencang banget, untuk bisa meresapinnya. Itu yang saya rasakan, ketika rasa sedih itu muncul, rasa kangen yang amat sangat, pengen cepet-cepet ketemu papa dan rasa-rasa lainnya, yang selalu datang silih berganti.

Ketiga, berhati-hati menjaga mulut. Kalau sekarang, di jaman hightech gini, termasuk jaga jari. Jangan sembarangan komen, sembarangan nyeletuk, sembarangan bicara, sembarangan copas dan broadcast. Dari kisah-kisah orang yang khusnul khotimah yang pernah saya baca, mereka adalah orang-orang yang mampu menghindari konflik, yang bisa menjaga hubungan baik dengan orang lain, yang dapat menempatkan diri, kapan bicara dengan halus, kapan bicara dengan tegas. Yang tahu diri, kapan mulutnya harus ngomong, kapan harus diam. Intinya, mereka adalah orang-orang yang meninggalkan kenangan baik di depan orang banyak.

Dan, banyak sekali hadits yang mengungkapkan pentingnya menjaga mulut ini, diantaranya yang ini:

Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ketika ditanya tentang orang yang paling utama dari orang-orang Islam, beliau menjawab:“Muslim yang paling utama adalah orang yang orang lain selamat dari kejahatan tangan dan lisannya. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 11 dan Muslim no. 42) 

Maasya Allah, begitu sempurna ajaran-Nya. Ngga cuma disuruh jaga hubungan sama Allah, tapi kitapun disuruh untuk jaga hubungan dengan manusia. Semoga Allah mudahkan saya untuk bisa istiqomah menjaga mulut dan jari ini.

*****

Akhir cerita, saya sendiri masih terus gambatte, mada-mada gambatteiru. Masih teruus berusaha keras. Tetap usaha supaya sabar, supaya selalu ingat, bahwa ini adalah takdir Allah. Bahwa ini adalah pelajaran terbaik dari Allah. Bahwa ini adalah hadiah dari Allah agar saya tersadar, bahwa satu saat saya pun akan kembali ke Allah. Bahwa saya harus banyak-banyak usaha, perbaiki diri, dan banyakin amal saleh sebelum kembali ke Yang Maha Penyayang. Bahwa saya juga harus fokus kepada berjuta-juta nikmat yang masih Allah hujani ke saya, dibanding satu musibah kecil yang Allah timpakan.

Bahwa....saya harus yakin sama janji Allah....bahwa Allah akan mudahkan jalan orang-orang yang berusaha menuju kepada-Nya...bahwa, satu saat nanti, Allah akan mengumpulkan semua orang-orang yang beriman di dalam surga-Nya...(semoga Allah masukkan papa, saya dan kita semua sebagai bagian dari orang-orang beriman itu...aaaamiiiin ya Robbal'aaalamiiin.)

*******



وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ
(yaitu) surga ´Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;
سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
(sambil mengucapkan): "Salamun ´alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (Ar-Rad:22-24)





 

Kematian Yang Indah

21 January 2015 | comments (6)

Sabtu, 17 Januari 2015, menjadi hari bersejarah bagi keluarga kami. Deringan telpon di pagi hari itu merubah segalanya. Kabar bahwa papa telah tiada, bagaikan sambaran petir, membuat saya dan keluarga sangat terkejut, sekaligus sedih yang teramat dalam. Kepergiannya amat sangat mendadak. Walaupun papa menderita penyakit jantung, tapi setelah operasi pemasangan ring, beliau tidak pernah mengalami kesakitan yang mengharuskannya rawat inap di rumah sakit.

Karena itu, saya hanya sebulan sekali menjenguk papa dan mama di Ciledug.  Hal yang sangat saya sesali, kenapa saya tidak lebih sering mengunjunginya. Saya dan kakak tinggal di Depok. Sementara adik saya, tinggal di rumah lain yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah papa dan mama. Dua minggu sebelum kematiannya, saya sekeluarga menginap di sana dan beliau masih dalam kondisi baik. Walaupun terkadang terlihat sangat lelah. Beliaupun masih sempat membelikan susu kotak kecil untuk cucu-cucunya seperti sebelumnya. Dan masih sempat bercerita dan bercanda bersama kami.

Berita duka ini sangat menghancurkan hati, tapi sekaligus membuat saya bahagia. Ternyata papa meninggal ketika tengah melaksanakan sholat subuh berjamaah di mesjid. Beliau meregang nyawa, saat sujud kedua di rakaat pertama. Beliau terjatuh, dan seketika itu adik ipar dan dua orang jamaah  membatalkan sholat subuh, membaringkannya, dan berusaha mentalqinkan kalimat syahadat. Dan alhamdulillah, papa dengan lancar mengucapkan kalimat tauhid tersebut.

Ketika saya melihat jasadnya, yang masih berbalut baju koko dan sarung kesayangannya, sungguh, saya melihatnya laksana beliau sedang tertidur sangat nyenyak dan bermimpi indah. Saya usap rambutnya, saya ciumi pipinya berulang kali. Saya belai tangan tuanya yang tengah bersidekap.

Ya Allah, inilah kepala hamba-Mu yang dipenuhi rambut memutih, yang memikirkan keberlangsungan hidup anak isterinya. Inilah dahi yang digunakan untuk merendahkan diri di hadapan-Mu, dahi yang menghitam karena sering digunakan bersujud. Inilah mata yang selalu dibasahi oleh airmata penyesalan atas dosa-dosa. Inilah pipi yang dipenuhi kerutan, yang sering disentuhkannya ke pipi anak cucunya, memperlihatkan sifat kasihnya kepada keluarga. Inilah tangan tua, yang bekerja siang dan malam, mencari rejeki halal, yang dengan itu kami tumbuh besar seperti sekarang. Inilah sepasang kaki tua, yang walau dengan kondisi susah payah senantiasa dilangkahkan ke rumah-Mu, dipaksakan melangkah untuk menjalin silaturahim dengan kerabat, teman dan besan....

Ya Allah, kalau tidak ingat bahwa jasad muslim harus sesegera mungkin dikuburkan, rasanya ingin sekali berlama-lama membelainya, memeluknya dan menciuminya. Mendekap erat sosok lelaki tua yang sangat sangat kami cintai....

Ah, papa tersayang.....betapa dalam pelajaran yang engkau tinggalkan kepada kami dengan kepergianmu. Engkau selalu memuliakan dan bersegera memenuhi panggilan Tuhanmu. Sejam sebelum waktu sholat tiba, engkau sudah menyiapkan diri. Bebersih dan berwudhu. Lalu mengenakan koleksi baju koko yang engkau miliki. Sarung dan kopiah yang sewarna dengan baju koko, membuat penampilanmu makin gagah. Tak lupa engkau semprotkan parfum di pakaianmu.

Engkau selalu berkata, menghadap Allah ketika sholat, harus mengenakan pakaian terbaik. Jangan cuma depan manusia saja kita tampil semaksimal mungkin. Justru di hadapan Allah, kita harus menjaga penampilan kita. Tak heran, koleksi yang engkau miliki sebagian besar adalah baju koko, kopiah dan sarung. Juga beraneka parfum yang selalu kau pakai setiap beribadah kepada Pencipta-Mu. Engkau bersungguh-sungguh bersiap mengunjungi rumah-Nya.

Ah, Papa, betapa engkau begitu memuliakan masa-masa berhadapan dengan-Nya. Kau senantiasa bersegera memenuhi panggilan-Nya, lima kali setiap hari, di rumah-Nya. Mungkin karena itulah, Allah pun menyuruh malaikat maut untuk menungguimu di tempat yang dirahmati dan diberkahi-Nya, di tempat yang begitu dimuliakan penghuni langit dan bumi. Dan di saat sujud, saat dimana seorang hamba begitu dekat dengan Pencipta-Nya, di saat itulah, ruhmu ditarik keluar dari ragamu, untuk memenuhi panggilan Allah Yang Maha Penyayang, Tuhan Semesta Alam yang sangat kau cintai.

Semoga kami, anak-anakmu, bisa meneruskan spirit ibadahmu, meniru konsistenmu dalam kebenaran, mencontoh semua amal-amal baikmu yang membuat engkau menjadi golongan orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan beribadah.

***********

Banyak orang bertanya, apa yang dilakukan papa semasa hidup, yang membuat beliau bisa wafat di mesjid, dalam keadaan melaksanakan sholat subuh berjama'ah.
Saya mencoba mengingat semua kebaikan yang papa lakukan, sampai Allah memilihnya meninggal dalam keadaan mulia tersebut.

1. Papa selalu berusaha untuk menempati shaff pertama ketika sholat di mesjid.
Ketika memasuki usia 78 th di bulan Agustus lalu, kondisi papa mulai berubah. Kedua kakinya tidak bisa lagi melangkah lebar dan gagah seperti dulu. Beliau hanya bisa berjalan dengan langkah-langkah kecil dan perlahan. Rasa sakit dan nyeri yang menyerang di kaki, beberapa bulan terakhir, membuat beliau hanya mampu melangkah seperti itu.

Kondisi ini tidak menyurutkan papa untuk sholat di mesjid yang berdiri megah di komplek perumahan. Bahkan ketika hujan turun, beliau tetap memaksakan diri untuk ke sana. Berjalan dengan langkah tertatih-tatih sepanjang 100 meter, sambil memegang payung. Itupun masih harus menaiki tangga mesjid yang agak tinggi, karena areal sholat terletak di lantai 2. Sementara di lantai 1 adalah aula mesjid. Sungguh, sepertinya itu medan yang sulit untuk lansia seperti beliau. Tapi kondisi ini, tidak menghalangi beliau untuk selalu setia mendatangi rumah Allah, tempat beliau berjumpa dengan malaikat maut.

Beliau berusaha untuk tiba di mesjid, setengah jam sebelum azan berkumandang. Beliau merasa nikmat untuk berlama-lama di mesjid, menghabiskan waktu dengan wirid dan zikir.

2. Papa rutin melakukan sholat tahajjud. Beliau selalu terbangun jam 3 malam, melaksanakan qiyamul lail dan berdzikir. Setelah itu, beliau tilawah sambil menunggu datangnya waktu sholat subuh. Kebiasaan ini beliau lakukan sejak memasuki usia pensiun, sekitar 23 tahun yang lalu.

Kalau dilihat sedari muda, sebenarnya papa bukanlah orang yang perhatian terhadap urusan agama. Lingkungan masa kecil yang dilaluinya sampai dewasa, bukanlah lingkungan yang agamis. Papa pun dulu sama sekali tidak bisa membaca Qur'an. Tapi sejak memasuki masa pensiun, papa berubah. Papa semakin religius. Papa berusaha mengejar ketertinggalannya dalam urusan agama. Papa berusaha untuk belajar membaca Qur'an, menghapal surat-surat pendek dan ayat-ayat tertentu, dan rajin menuliskan resume penting dari buku-buku agama yang dibaca dan dikoleksinya. Ilmu yang didapatnya pun bukan cuma tersimpan menjadi catatan, tapi berusaha ia amalkan dan sampaikan ke keluarga dan orang-orang terdekatnya.

3. Papa orang yang jujur dan tegas. Papa dulu bekerja sebagai pegawai negeri di instansi badan pengawas keuangan dan pembangunan (BPKP). Tugasnya sehari-hari adalah mengaudit pertanggungjawaban keuangan di lembaga dan instansi pemerintah. Mengecek dengan detil pelaksanaan laporan keuangan proyek ke perusahaan swasta, yang menerima tender dari pemerintah. Entah sudah keberapa kali papa mengalami upaya penyuapan. Dari map tebal yang berisi segepok uang, hiasan berbentuk ornamen rumah adat yang ternyata didalamnya terselip sejumlah uang, sampai service berupa wanita cantik yang bisa dijadikan selimut hidup,  dan fasilitas lain yang sangat menggiurkan, yang terus ditawarkan oleh mereka tanpa malu di hadapan papa.

Tapi papa sama sekali menolak semua itu. Ketika papa mengaudit proyek pembuatan jalan raya, maka papa bukan cuma sekedar memeriksa laporan yang tertera di atas kertas. Sebelum tanda tangan, papa akan turun ke lapangan, memeriksa apakah ketebalan jalan sesuai yang tertulis, apakah pemakaian bahan baku seperti semen, dll, dikerjakan sesuai laporan, dan lain sebagainya. Atau ketika memeriksa proyek pengadaan barang, maka papa akan mengecek inventaris seluruh barang dengan teliti, dari kursi, meja, dll, apakah jumlahnya sama yang seperti tertulis. Bahkan papa tidak segan-segan mengecek sampai ke gudang walau lokasinya jauh.

Kalau ditemukan ketidakcocokan antara laporan dan fakta di lapangan, maka papa akan menulis dengan jujur, detil dan apa adanya. Dari sini, papa menjadi terkenal sebagai orang yang tidak bisa disogok, tegas, berani. Karenanya banyak yang membenci papa. Bahkan sesama rekan kerja banyak yang tidak suka bekerja dalam tim yang papa pimpin. Karena jika sebuah tim diketuai oleh papa, maka berarti tidak ada service dan fasilitas yang boleh mereka terima.

Karena kejujuran papa ini pula, papa sama sekali tidak memiliki aset apapun sepanjang hidupnya. Kecuali satu-satunya rumah dinas yang bisa dimiliki dengan kredit murah dari pemerintah, yang beliau tempati sampai ajal menjemput. Menurut papa, papa tidak mau bermegah-megah dengan memanfaatkan fasilitas dari pekerjaan dan jabatan yang dimiliki. Kata papa, tidak ada satupun harta benda yang dimiliki yang akan dibawa ke kubur. Lagipula semua nanti akan ditanya Allah, semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

4. Papa orang yang sangat sabar. Beliau tidak pernah mengeluh. Sesulit dan sesakit apapun kondisi yang dialami, beliau hanya terdiam. Ini menjadi tanda, kalau beliau sudah mengatakan ada sesuatu yang sakit, berarti itu adalah suatu level kesakitan yang sudah sangat tinggi. Setahun belakangan ini, beliau mengalami sakit di salah satu kaki, rasa nyeri yang begitu kuat yang menjalar dari pangkal paha sampai ke ujung kaki, tapi semua itu beliau tahan.

Selain ke mesjid, beliau tetap seperti biasa berbelanja di pasar menggunakan angkot dan ojek, mengangkat barang-barang belanjaan yang berat. Pergi ke toko buku, membaca buku-buku agama yang disukainya. Beliau pun tetap rutin bersilaturahim mengunjungi rumah kerabatnya, di tengah rasa sakit dan nyeri yang dideritanya.

Ada cerita menarik, ketika papa dan mama mengunjungi saya di Tokyo, penghujung tahun 2008. Saat itu musim dingin. Dan saya saat itu sedang hamil anak ketiga. Mama dan papa membantu pekerjaan rumah sebisa mereka. Mama bagian memasak dan menyuapi anak kedua saya yang masih bayi. Papa kebagian jemur pakaian. Satu waktu, ketika papa sedang di balkon untuk menjemur pakaian, tiba-tiba mama mengunci pintu pembatas balkon dan kamar. Mama tidak tahu, kalau papa masih di balkon, dan mengira papa sudah di dalam rumah. Selang 30-40 menit kemudian, saya dan mama bingung, kok papa tidak ada dalam rumah. Mama sontak tersadar, dan merasa, jangan-jangan papa masih di balkon tempat jemur pakaian. Wah, ternyata benar. Beliau 'terkurung' disana, dengan kondisi kedinginan, hanya memakai sweater saja. Mukanya pun sudah kelihatan pucat.

Ketika masuk, papa sama sekali tidak marah. Pas kami tanya, kok papa ngga gedor-gedor pintu pembatas. Papa bilang, papa sudah gedor, tapi ngga ada yang dengar, ya sudah, papa diam saja trus berdoa sama Allah, supaya pintu itu cepat dibuka.
Maasya Allah. Papa sama sekali tidak marah, tidak menyalahkan mama. Papa cuma berkata, semua sudah terjadi, tidak perlu marah-marah. Dan papa pun tersenyum seperti biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Peristiwa yang menguji kesabaran lainnya, adalah ketika papa seorang diri, tertinggal pesawat di Kuala Lumpur. Dalam perjalanan pulang dari Tokyo ke Jakarta, pesawat yang ditumpangi beliau, transit selama beberapa jam di Kuala Lumpur. Waktu itu sudah menunjukkan tengah malam. Para penumpang sebagian besar sudah menuju ke gate untuk penerbangan ke Jakarta. Entah kenapa, papa sepertinya salah menangkap penjelasan tentang gate yang dituju. Dan papapun nyasar. Sementara pesawat sudah telanjur terbang. Papa yang sudah kecapaian dan mengantuk, berusaha mencari tempat untuk istirahat. Papa tidak bisa menginap di hotel, karena uang yang ada sangat sedikit. Terpaksa beliau mencari musholla. Tetapi suhu AC dalam musholla sangat-sangat dingin. Akhirnya papapun tertidur dengan kondisi kedinginan dan kelaparan di kursi-kursi ruang tunggu yang juga suhunya dingin.

Adik saya yang sudah menjemput di bandara Soetta kebingungan. Begitupun saya yang mendapat kabar via telpon dari adik, kalau papa belum sampai-sampai. Sementara HP papa saat itu tidak aktif. Sepertinya papa lupa menyalakan kembali. Kami kebingungan dan cuma bisa berdoa semoga Allah memudahkan urusan ini. Alhamdulillah, ada petugas bandara di sana yang menemukan papa, dan menolong sampai papa bisa terbang dengan pesawat berikutnya, tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun.

Kejadian ini tidak membuat papa marah terhadap kami. Papa tidak menyalahkan siapapun. Papa merasa semua yang terjadi adalah bagian dari takdir Allah yang pasti ada hikmahnya.

Dengan kesabaran papa yang seperti tanpa batas, terkadang saya merasa pertolongan Allah begitu dekat terhadap papa, persis seperti yang tertulis dalam surat Al-Baqoroh, Innallaaha ma'asshoobiriin. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

5. Papa pandai menjaga lidah. Begitu kesaksian jamaah, tetangga, kerabat dekat dan jauh yang sering bergaul dengannya. Papa begitu pandai menjaga perasaan orang. Papa tidak suka melukai hati orang dengan mulutnya. Papa termasuk orang yang suka mengobrol dan berdiskusi. Papa terlihat semangat, apalagi kalau yang menjadi topik adalah masalah agama. Tapi ketika muncul perdebatan, atau konflik, papa memilih sikap netral atau diam.

Terhadap kami pun seperti itu. Bisa dihitung dengan jari, berapa kali papa marah kepada kami. Saya berusaha mengingat keras kenangan bersama beliau, ternyata sampai beliau wafat, papa cuma dua kali marah besar ke saya. Itupun karena kenakalan yang saya buat di masa remaja, yang belakangan setelah saya menjadi orangtua, saya merasa adalah wajar sekali papa marah seperti itu.

Papa pun tidak pernah memaksakan kehendaknya. Dari urusan pilihan jurusan kuliah, pekerjaan, sampai jodoh, semua papa percayakan ke anak-anaknya. Ketika papa mulai banyak belajar agama, terkadang muncul perbedaan pendapat dengan anak-anaknya terhadap masalah tertentu yang terkait dengan urusan fiqh dan muamalah. Tapi papa tetap menghormati pilihan dan menghargai keputusan kami.

****

Sebenarnya, masih banyak sekali kebaikan yang papa lakukan yang menjadi teladan bagi kami anak-anaknya. Namun yang sangat menonjol dan melekat erat di hati saya, adalah hal-hal di atas. Dibalik semua kelebihannya, papa juga tetap memiliki banyak kekurangan.  Hanya saja di akhir usianya, kekurangan papa semakin tertutupi oleh kebaikan-kebaikannya.

Saya berharap, semoga tulisan ini bisa menginspirasi semua orang, terutama kami anak-anaknya. Untuk bisa konsisten dalam beribadah, dan istiqomah dalam mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan, sampai tiba saatnya berjumpa dengan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Semoga tulisan ini dijadikan Allah SWT sebagai amal jariyah untuk beliau.

Semoga Allah mengampuni segala dosanya, menerima semua amal baiknya, memberkahi dan merahmatinya, mencucurinya dengan limpahan kasih sayang, meluaskan alam kuburnya, dan menjadikan tempatnya saat ini sebagai salah satu taman dari taman-taman surga. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kami, dan mengumpulkan kami semua dalam surga-Nya.

Aaaamiiiiin ya robbal 'aalamiin.

2015

15 January 2015 | comments

Jiaaahh...udah lewat 15 hari dari tahun baru, hari gini masih mo nulis tentang tahun baru-an??
Hehe, saya pribadi mah, ngga terlalu peduli sama urusan pergantian tahun. Ngga ada makna khusus di dalemnya, selain di Islam sendiri juga ngga ada perintah untuk peduli urusan pergantian tahun.

Maksudnye apa siiihh??
Hmm, yah, maksud sayah gini. Biasanya tuh ye, kalo tahun baru, suka ada kebiasaan bikin resolusi. Nah, saya juga idem. Sejak bertahun-tahun silam, saya doyan banget bikin resolusi. Ya, niatnya sih, supaya semangat dan pengen jadi makhluk yang lebih baik lagi. Walopuuunn, sebenarnya untuk berubah, untuk masang target, untuk evaluasi, ngga perlu nunggu awal tahun baru. Bagi saya, nunggu tahun baru buat mempermudah aja, biar gampang ngitungnya, walo sekali lagi....jangan dijadiin patokan.

Soalnya....pengalaman mengajarkan, entah di tahun berapa kita bikin resolusi, trus di tahun selanjutnya resolusi tersebut baru dijalanin...itupun cuma seperempatnya yang berhasil...dan tau-tau di tahun berikutnya baru deh tu resolusi bisa dijalanin ....sepersekiannya...hehehehe. Ya, begitulah efek bikin resolusi secara tahunan -___-!

Sebenarnya, kalo ngeliat ke sekitar, banyak juga orang-orang yang berhasil ngelakuin resolusinya. Biasanya siih, ini tipikal orang-orang yang idealis dan perfectionist dan rata-rata mereka sukses. Tapi, buat orang-orang, yang mood-mood-an, yang rajin kalo lagi pengen aja, yang lebih sering males n kelupaan sama resolusinya,...ya....akhirnya, seperti yang terpampang di gambar sebelah ini. Hehehe.....

Akhirnyaaa....ya, saya pun bosan dengan bikin resolusi. Mending langsung praktek. Kalo mo ngotot punya resolusi, ya ngga usah banyak-banyak. Dua aja cukup. *kok kayak iklan KB ya*

Karena, yang bikin males dan membuat orang jadi (sengaja) lupa dengan resolusinya, ya itu tadi, kebanyakan masang target. Jadi, salah satu hal mudah untuk bisa nyelesein resolusi, make it simple !!!

Trus, apa resolusi saya? Hm, sebenarnya banyaaaakk, tapi saya batasin cukup dua dulu. Seandainya dalam satu-dua bulan pertama, saya bisa jalanin dua target ini dengan baik, baru saya tambah lagi targetnya. Targetnya sederhana: sholat awal waktu, sama nyisihin waktu minimal 15 menit bersama anak. Dua itu dulu deh. 

Karenaaa, biasanya, kalo target itu sudah menempel jadi rutinitas dan kebiasaan, maka jadi lebih mudah untuk nambah target lainnya. Dan setiap target yang dibikin, saya selalu usahain, ada target vertikal dan horizontal. HablumminaLlah dan hablumminnaas. Secara ketika tahun baru menjelang, berarti umur juga makin tua, makin berkurang, dan kita pun makin bau tanah....huhu.

Semoga saya bisa konsisten dengan resolusi sederhana ini....Aaaaaamiiiiiiin.

______________________

*gambar dari sini


 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Kehidupan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger