Menikmati Sedih

31 January 2015 | comments



Sedih kok dinikmati??
Ya, ini sebenarnya kalimat penghibur. Terutama buat diri saya, yang baru saja mengalami kesedihan mendalam. Beberapa hari setelah kepergian papa, secara emosi, saya masih naik turun. Kadang sedih banget, terutama kalau keingat kenangan saat beliau masih ada. Tatapan mata, gaya bicara, cara berjalan, sampai ekspresi kalau lagi melucu dan bercanda masih melekat erat di hati saya. Kadang saya bisa melewati hari tanpa airmata. Saya bisa tenang, apalagi kalau ingat papa perginya dalam keadaan sangat baik dan insyaa Allah, beliau dalam keadaan lebih senang di alam barzakh sana.

Dan hari ini tepat dua minggu sudah papa meninggalkan kami. Gimanapun ini adalah musibah juga ujian yang terasa berat bagi saya, kehilangan orang tua yang sangat-sangat dicintai. Tapi ini bukan musibah terbesar, karena musibah terbesar adalah musibah yang menimpa keimanan. Sebagaimana yang Rasul saw sabdakan. Beliau berdoa dalam sebuah doa yang panjang, yang ujungnya adalah

“Ya Allah, Janganlah Engkau jadikan musibah yang menimpa kami dalam urusan agama kami, dan jangan pula Engkau jadikan (harta dan kemewahan) dunia sebagai cita-cita kami yg paling besar, dan tujuan utama dari ilmu yg kami miliki.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi)
Jangan Engkau jadikan musibah kami adalah musibah yang menimpa dien kami - See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2010/06/28/7506/nikmat-dan-musibah-terbesar-menurut-islam/;#sthash.HWh4tHHL.dpuf

Jangan Engkau jadikan musibah kami adalah musibah yang menimpa dien kami - See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2010/06/28/7506/nikmat-dan-musibah-terbesar-menurut-islam/;#sthash.HWh4tHHL.dpuf

". . .  Jangan Engkau jadikan musibah kami adalah musibah yang menimpa dien kami . . ." (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim. Syaikh Al-Albani menghasnakan hadits ini dalam Shahih al-Jaami') - See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2010/06/28/7506/nikmat-dan-musibah-terbesar-menurut-islam/;#sthash.HWh4tHHL.dpuf
". . .  Jangan Engkau jadikan musibah kami adalah musibah yang menimpa dien kami . . ." (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim. Syaikh Al-Albani menghasnakan hadits ini dalam Shahih al-Jaami') - See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2010/06/28/7506/nikmat-dan-musibah-terbesar-menurut-islam/;#sthash.HWh4tHHL.dpuf
Jadi, semestinya ini adalah peristiwa biasa. Setiap orang kemungkinan pernah mengalami ini, kehilangan orang yang dicintai. Entah itu orangtua, saudara kandung, anak sendiri, sahabat dekat atau siapapun yang ia cintai sepenuh hati. Dan, rasa sedih yang muncul, adalah sesuatu yang sangat sangat wajar.

Bahkan Rasul saw pun berduka dengan kematian isterinya tercinta, Khadijah ra. Juga ketika kehilangan sang buah hati, satu-satunya putra beliau saw, yang bernama Ibrahim. Dan sahabat-sahabat pun sangat-sangat bersedih, ketika Rasul saw wafat.

Sedih itu ngga apa-apa dinikmati, ngga apa-apa dirasakan. Itulah manusia. Dengan sisi emosinya yang Allah berikan, dia bisa merasakan gejolak jiwa berupa rasa sedih yang meluap-luap ketika kehilangan sesuatu yang ia cintai.

Selama,.... rasa sedihnya itu tidak membawanya menjadi orang yang marah dan memaki-maki Allah. Tidak mengubahnya menjadi hamba yang tidak tahu terima kasih kepada Penciptanya. Rasa sedih, harus diiringi dengan kesabaran. Ya, memang berat. Beraaat banget. Tapi justru disitulah, rasa percaya dan husnuzhon kita kepada Allah sedang diuji. Bahkan keimanan kita akan terlihat nyata, saat musibah menimpa. Bukan beriman namanya, kalau hanya taat saat senang, dan malah menjadi fasik ketika sedih dan susah.



Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-Ankabut:2-3)



Terus terang, selama ini saya memang sudah sering mendengar berita duka cita kematian orang tua kawan-kawan saya. Kurang lebih sejak lima tahun lalu, silih berganti berita duka itu datang. Saya sadar banget, saya pun harus bersiap-siap, kalau suatu saat saya akan mengalami duka yang sama. Walaupun tetap ada rasa khawatir, kira-kira siap ngga kalau masa itu datang. Saya pun mulai bersiap, dengan sering mendengar ceramah dan membaca artikel-artikel Islam seputar musibah. Salah satu ayat yang saya paksakan, untuk saya ingat, adalah:

Allah Ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Al-Hadid:22)

Kalau baca ayat ini, saya jadi tahu, kalau semua peristiwa, besar-kecil, baik yang telah, sedang dan akan terjadi, sudah tertulis di Lauh Mahfuzh. Jadi, daripada berlarut-larut dalam marah, kecewa, sedih berlebihan sampai disibukkan dengan menyesali atau mengutuk-ngutuk keadaan, mending diterima dengan lapang. Atau kalau belum bisa lapang, ya paksakan hati ini dengan kuat, untuk bisa lapang. Itu jauh lebih baik.

Bukankah Allah swt juga sudah berjanji, untuk orang-orang yang bersabar, dan tetap husnuzhon kepada Allah, bahwa ada pahala dan imbalan yang sangat besar dibalik musibah yang menimpa. Sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi : “Barangsiapa yang Aku ambil orang yang dicintainya dari penduduk dunia kemudian dia (bersabar sambil) mengharapkan pahala (dari-Ku), maka Aku akan menggantinya dengan surga” (HR. Bukhari)

Sungguh, ini bener-bener jadi hiburan buat saya. Selain selalu berusaha, terus menerus meresapi, menghayati dan meyakini sekuat-kuatnya, semuaaaaaaa yang Allah takdirkan dan timpakan terhadap diri ini adalah sebuah hadiah yang bertabur dengan hikmah dan kebaikan, selama kita yakin, kalau Allah itu amat sangat Maha Penyayang dan Pengasih terhadap hambanya. Allah SWT.....benar-benar tidak akan zholim kepada hamba-Nya, walau hanya seberat zarrah...

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (An-Nisa:40)

******

Sebenarnya, beberapa bulan sebelum kejadian meninggalnya papa secara mendadak, saya sedang tenggelam dengan kehidupan dunia. Saya sibuk dengan rutinitas, saya sibuk dengan aktifitas yang lebih cenderung melalaikan saya. Saya terbawa dan keasikan menuruti hawa nafsu. Kalaupun saya sholat, or ngaji, yaa....hanya sekedarnya. Ngga ada penghayatan, cuma sekedar gugurin kewajiban.

Sampai.... berita duka itu datang. Saya tersentak. Inilah saatnya saya menyerap dengan sepenuh hati, sepenuh akal pikiran, sepenuh jiwa raga, ayat-ayat yang sudah sering saya baca sebelumnya.
Saya tiba-tiba disadarkan dengan banyak hal yang sering saya lupakan.

Pertama, saya pasti...pasti akan mati. Entah kapan dan dimana tempatnya. Satu hal yang harus saya ingat, hanya dengan khusnul khotimah,  perjalanan panjang kita ke negeri akhirat, dengan seijin Allah swt akan dimudahkan dan dilancarkan. Mulai dari prosesi sakaratul maut, menjawab pertanyaan malaikat di alam kubur, sampai kemudahan dalam hisab di padang mahsyar, melewati shirath, dan terus melangkah ke pintu surga. Sebaliknya akan terjadi, ketika hidup berakhir dengan su'ul khotimah. (Naudzubillah  min zalik. Semoga Allah jauhkan kita dari kematian yang buruk dan Allah akhiri hidup kita dengan kematian yang baik dan dalam keadaan beribadah kepada-Nya.)

Saya juga harus sering meingatkan diri, bahwa yang namanya khusnul khotimah, harus diusahakan. Harus ada niat dan tekad yang kuat. Harus ada semangat yang dikawal. Harus sabar menjalani proses yang panjang. Harus ada doa yang selalu dipanjatkan. Dan itu sama sekali tidak mudah ! Perlu perjuangan keras. Perlu perencanaan. Ya, betul, perencanaan yang matang. Bukan seadanya, bukan sekedarnya. Bukan asal-asalan.

Perencanaan perlu bukan hanya untuk masalah finansial, kesehatan, atau pendidikan anak. Tapi, seperti apa akhir hidup yang diinginkan, juga harus dipikirkan. Caranya, jadikan khusnul khotimah sebagai satu target yang harus dicapai. Pacu hasrat dan emosi agar muncul gejolak dalam jiwa yang mengakibatkan kita menjadi sangat-sangat berambisi untuk bertemu Allah dalam kondisi yang baik. Maka kondisi itu, harus dijadikan sebagai satu kebiasaan. Dan setelah menjadi kebiasaan, tentu akan lebih mudah dan ringan untuk mengerjakannya.

Seperti perkataan seorang ulama besar,"Barangsiapa yang terbiasa melakukan sesuatu dalam hidupnya, niscaya ia diwafatkan dalam keadaan tersebut."

Ulama ini dalam hidupnya menyaksikan sekian banyak kejadian sakaratul maut. Ada yang sakarat sambil mulutnya sibuk menyebut angka-angka, yang ternyata ia adalah seorang pedagang yang semasa hidupnya cuma digunakan untuk menghitung keuntungan tapi melupakan zikir. Ada juga yang sakarat sambil menyenandungkan syair-syair dan lagu yang sering ia dengar. Ada juga yang sakarat saat sedang minum minuman keras, karena begitulah kebiasaannya sehari-hari. (Naudzubillah min dzalik. Semoga Allah menjauhkan kita dari hal itu.)

Ingin mati saat sholat, ya perbanyaklah sholat. Ingin mati ketika mulut sedang berdzikir, ya perbanyaklah dzikir. Ingin mati ketika tilawah, ya perbanyaklah tilawah. Ingin mati saat puasa, ya perbanyaklah puasa sunnah. Saya jadi teringat papa yang begitu semangat dan bercita-cita untuk mati saat beribadah, dan qadaruLlah, beliau wafat dengan kebiasaannya itu.

Kedua, bahwa, yang namanya sabar itu, adalah suatu keharusan. Suatu kewajiban. Kalau mengaku muslim, ya harus sabar. Suka ngga suka. Harus numbuhin sifat sabar. Saya harus terus latihan supaya bisa punya sabar yang terus menerus menetap dalam diri. Setiap saat dan dalam semua situasi dan kondisi. Pastinya berat dan susah. Apalagi buat orang yang ngga sabaran seperti saya. Tapi, kalau ngga dilatih, mana bisa berhasil?

Dan memang muslim itu harus punya minimal tiga sabar. Satu, sabar ketika harus terus menerus taat sama perintah Allah, harus maksain diri untuk terbiasa mengerjakan ibadah dengan rutin. Ya sholat, baca Qur-an, datang ke pengajian, rutin infak-sedekah, dll.  Sabar menjauhi maksiat, atau menjauhi hal yang kita anggap mubah, yang tanpa sadar malah membawa ke maksiat. Seperti nonton tivi, niatnya mau menghibur diri, eh ujung-ujungnya malah bikin jadi males sholat, males baca Qur'an. Yang terakhir, sabar waktu ditimpa musibah. Nah, ini juga berat, kalau ngga disiapin sejak awal. Siapinnya dengan banyak baca ayat-ayat tentang musibah dan sabar, seperti ayat ini:



Dan sungguh akan Kami berikan ujian kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al-Baqoroh: 155)

Ini salah satu ayat yang sering disitir sama papa saya. Kalau lagi nasehatin anaknya, yang masih sering ngga sabaran. Dan, ayat ini memang manjur sekali. Baru bisa diresapi dengan nikmat, pas ditimpa musibah seperti kemarin. Maasya Allah, benar-benar, harus usaha yang kencang banget, untuk bisa meresapinnya. Itu yang saya rasakan, ketika rasa sedih itu muncul, rasa kangen yang amat sangat, pengen cepet-cepet ketemu papa dan rasa-rasa lainnya, yang selalu datang silih berganti.

Ketiga, berhati-hati menjaga mulut. Kalau sekarang, di jaman hightech gini, termasuk jaga jari. Jangan sembarangan komen, sembarangan nyeletuk, sembarangan bicara, sembarangan copas dan broadcast. Dari kisah-kisah orang yang khusnul khotimah yang pernah saya baca, mereka adalah orang-orang yang mampu menghindari konflik, yang bisa menjaga hubungan baik dengan orang lain, yang dapat menempatkan diri, kapan bicara dengan halus, kapan bicara dengan tegas. Yang tahu diri, kapan mulutnya harus ngomong, kapan harus diam. Intinya, mereka adalah orang-orang yang meninggalkan kenangan baik di depan orang banyak.

Dan, banyak sekali hadits yang mengungkapkan pentingnya menjaga mulut ini, diantaranya yang ini:

Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ketika ditanya tentang orang yang paling utama dari orang-orang Islam, beliau menjawab:“Muslim yang paling utama adalah orang yang orang lain selamat dari kejahatan tangan dan lisannya. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 11 dan Muslim no. 42) 

Maasya Allah, begitu sempurna ajaran-Nya. Ngga cuma disuruh jaga hubungan sama Allah, tapi kitapun disuruh untuk jaga hubungan dengan manusia. Semoga Allah mudahkan saya untuk bisa istiqomah menjaga mulut dan jari ini.

*****

Akhir cerita, saya sendiri masih terus gambatte, mada-mada gambatteiru. Masih teruus berusaha keras. Tetap usaha supaya sabar, supaya selalu ingat, bahwa ini adalah takdir Allah. Bahwa ini adalah pelajaran terbaik dari Allah. Bahwa ini adalah hadiah dari Allah agar saya tersadar, bahwa satu saat saya pun akan kembali ke Allah. Bahwa saya harus banyak-banyak usaha, perbaiki diri, dan banyakin amal saleh sebelum kembali ke Yang Maha Penyayang. Bahwa saya juga harus fokus kepada berjuta-juta nikmat yang masih Allah hujani ke saya, dibanding satu musibah kecil yang Allah timpakan.

Bahwa....saya harus yakin sama janji Allah....bahwa Allah akan mudahkan jalan orang-orang yang berusaha menuju kepada-Nya...bahwa, satu saat nanti, Allah akan mengumpulkan semua orang-orang yang beriman di dalam surga-Nya...(semoga Allah masukkan papa, saya dan kita semua sebagai bagian dari orang-orang beriman itu...aaaamiiiin ya Robbal'aaalamiiin.)

*******



وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ
(yaitu) surga ´Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;
سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
(sambil mengucapkan): "Salamun ´alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (Ar-Rad:22-24)





 
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Kehidupan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger