Setelah satu tahun

30 November 2007 | comments

Dua hari yang lalu, alhamdulillah big M akhirnya menamatkan kelas satu SDnya dengan selamat :D Sebenarnya sih, semua murid kelas satu  ya lulus....hehe

Ngga terasa euy, si big M dah kelas 2. Time flies so fast....

Ada banyak catatan yang terkesan bagi saya, selama setahun big M sekolah...
Yang jelas, saya ngga serepot ketika dia masih TK dulu. Saya ngga perlu antar jemput, atau ikutan sibuk berpartisipasi dalam acara TK....
Yang lainnya??

Pertama, ngiriiiittt ....
Di jepang ini, seluruh sekolah negeri memang gratis. Kita ngga perlu bayar uang sekolah, seperti ketika anak masih di TK. Yang perlu dibayar cuma biaya makan siang yang disediakan setiap hari dan biaya-biaya study tour.
Buku pelajaran tidak dijual bebas, hanya pihak sekolah saja yang menyediakan dan harganya juga tergolong murah. Padahal kalau  melihat isinya.....huaaaa.....menarik sekaleeee....
Sampe kepikiran, ini teh buku pelajaran atau buku cerita ya
Di setiap halaman, pasti ada gambar-gambar dan tulisan dengan warna yang menarik. Entah itu buku pelajaran matematika, keterampilan, musik, sampe kanji, semuanya menarik !!!
Bener-bener beda euy, dengan buku SD saya jaman baheuuulaaa yang semua serba black n white

Kedua, pihak sekolah yang peduli banget sama perkembangan anak muridnya.
Setiap beberapa bulan sekali, selalu ada pertemuan khusus antara walimurid dan ortu, membicarakan perkembangan masing-masing anak, juga apa yang diharapkan ortu dari pihak sekolah terkait dengan pendidikan anaknya.
Di pertemuan ini, sang guru selalu menekankan kepada para ortu, untuk mensupport dan mengexplore lebih dalam anak mereka. Apa kekurangannya, apa kelebihannya, dan jangan lupa untuk selalu memberi pujian terhadap hal-hal baik yang dikerjakan si anak.

Pertemuan ini diadakan di masing-masing kelas. Saya paling senang memperhatikan kondisi ruangan dalam kelas. Dinding-dinding sekeliling ruangan dipenuhi dengan tempelan hasil karya anak-anak, entah berupa tulisan ataupun gambar.

Selain pertemuan dengan guru, juga ada waktu khusus dua bulan or tiga bulan sekali, dimana ortu boleh mengunjungi sekolah di saat jam belajar untuk melihat proses belajar mengajar yang berlangsung di kelas sang anak.

Ketiga, selalu ada pemeriksaan kesehatan rutin.
Dari awal masuk, tiap anak diperiksa secara general. Dan berikut-berikutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus. Dari pemeriksaan mata, telinga, gigi, sampe bagian dalam.
Inget banget deh dulu, sering dapet kiriman kertas keterangan pemeriksaan, termasuk diantaranya tube-tube kecil yang dipake utk menyimpan `hasil hajatan anak di toilet'...

Keempat, anak-anak jadi lebih sehat karenaaa....kudu jalan kaki PP dari rumah sampe sekolah.
Di sini ga ada ceritanya, anak SD dianterin sama emak atau epaknya atau pake mobil jemputan. Pokoknya harus jalan kaki...mo hujan-hujanan kek mo panas-panasan kek
Tapi memang lokasi SD yang dimasuki, sudah disesuaikan dengan wilayah masing-masing anak....hm,...apa ya istilahnya.
Jadi, wilayah terjauh...ya sekitar 45 menit jalan kaki sampai sekolah. Dan itupun berjalannya harus berkelompok dengan anak-anak yang tinggal di wilayah berdekatan.
Rute jalan kaki pun dah ditentukan untuk setiap wilayah.
Alhamdulillah, jarak dari rumah ke sekolah si M, masih tergolong dekat. Ya sekitar 10-15 menit jalan kaki dengan kecepatan ala anak2

Jadi inget, minggu-minggu pertama sekolah, si big M dan temen sekelompoknya suka telat nyampe rumah. Saking khawatirnya, saya sampai nelpon ke salah satu ibu yang anaknya satu kelompok pulang dengan big M. (hmm, kalau ga penting banget, saya paling males nelponin orang jepang, takut salah ngomong, maklum level bhs jepangnya masih level isyarat doang )
Trus, kata ibu itu, saya ngga usah khawatir krn anak-anak yg baru sekolah memang begitu, suka lambat karena adaaaa aja yang dikerjain selama perjalanan menuju rumah. Entah untuk istirahat, ngeliatin bunga di halaman orang,  or nangkepin serangga kecil....belum lagi kalau ada pertengkaran di antara mereka....hayaaah...bisa lebih lama lagi deh pulangnya
Kalau istilah ibu lainnya, anak-anak itu tampak luarnya aja SD, padahal jiwanya, masih jiwa TK....

Kelima, anak diajarkan untuk mandiri. Untuk makan siang yang disediakan di sekolah, mereka yang harus menyiapkan loh.
Jadi pihak sekolah hanya menyediakan makanan yang berkuah ataupun lauk dalam panci-panci besar. Beberapa anak ditugaskan untuk menjadi `pelayan` selama seminggu. Mereka menggunakan celemek besar berwarna putih, dan bertugas menata baki-baki dan piring, juga membagikan makanan ke anak-anak lainnya. Sementara anak-anak yang tidak bertugas, mengatur meja-meja kecil mereka, digabungkan, sehingga terbentuk meja yang agak besar. Setelah itu mereka berbaris, membentuk barisan memanjang, mengantri, untuk mengambil makanan. Ck..ck..ck...luar biasa.

Keenam, anak-anak dibiasakan banyak bergerak.
Lihat saja, untuk menuju sekolah saja, mereka harus berjalan kaki. Tidak boleh naik sepeda. Tidak boleh diantar orangtua dengan kendaraan.
Sudah menjadi standar, setiap sekolah di Jepang, harus mempunyai lapangan dan aula besar untuk olahraga. Tiap dua hari sekali, ada pelajaran olahraga. Dan setahun sekali, diadakan pertandingan olahraga, yang dikenal dengan undokai. Untuk undokai ini, mereka latihan berminggu-minggu sebelumnya.
Ngga heran, di sini jarang banget ketemu anak gemuk :D. Rata-rata pada kurus, tapi kurus berisi. Ya, berisi otot ...hehe

Trus apalagi ya??
Oiya, untuk rapor, penilaiannya tidak menggunakan angka. Tapi kalimat2 yang memotivasi. Ngga ada istilah rangking. Saya lupa apa kalimatnya :(

Hm, baru ini yang keingat.
Kalau ada yang baru, nanti saya tulis lagi.
Sebagai kenang2an....ttg per-sekolah-an di Jepang :)









Koleksi Yang Aneh

15 April 2007 | comments (5)

Jumat siang kemarin, jadwal renangnya si M di swimming school dekat rumah. Di sana saya ketemu dengan Kumiko-san, teman saya yang anaknya dulu satu yochien dengan si M. Cukup lama juga ngga ketemuan sama Kumiko, berhubung liburan musim semi, dan juga karena si M dan Kaito-kun, anaknya Kumiko, sejak Senin yang lalu masuk SD yang berbeda.

"Rina, hisashiburi !! Sehat?? Gimana Goji-kun di SD yang baru??"
Si M di sekolahnya memang dipanggil dengan sebutan Goji, nama tengahnya yang seharusnya Ghozi. Tapi karena lafal "Zi" tidak ada dalam perbendaharaan aksara Jepang, jadinya berubah menjadi "Ji".

Si M senang sekali bisa ketemu Kaito. Dalam waktu singkat, mereka sibuk main kejar-kejaran berdua di areal swimming school yang cukup luas itu sambil menunggu jam mulai latihan.

"Kaito....cepat ke sana!"
Teriak Kumiko sambil menunjuk ke arah sensei yang mulai melakukan pemanasan dengan murid-murid renang lainnya.
Dengan cepat si M dan Kaito lari ke tempat murid-murid berkumpul.

"Gigi depan Goji dah copot juga ya..", kata Kumiko.
"Iya, baru beberapa hari yang lalu tuh copotnya."
"Nangis ngga anaknya?"
"Ngga, soalnya dah lama banget goyangnya. Akhirnya copot dengan sendirinya. Padahal saya dah gemes banget pengen nyabutin, tapi dia ngga mau, takut sakit katanya...hehehe."
"Trus giginya kamu apain?"
"Ya saya buang aja di tempat sampah." Jawab saya dengan santainya.
"Haa?? Kamu buang?? Ya ampun, teganya...".
Kumiko menatap saya seakan-akan saya habis melakukan perbuatan yang zholim banget..hihihi.

"Loh, emangnya mo diapain? Kan jijik lagi, udah bentuknya kecil, trus ada darahnya lagi."
jawab saya dengan mimik bingung sambil mikir apa ada yang salah dengan tindakan saya..

"Rina, tau ngga, kalo kebiasaan kami sebagai orang Jepang, biasanya gigi yang copot itu dikumpulkan. Sebelumnya dibersihkan dulu pake air sampai darahnya hilang, dilap sampai kering, trus disimpan di dalam kotak kecil."
Kumiko menjelaskan panjang lebar.

"Giginya Kaito dah ada lima biji loh yang saya simpan di kotak itu."
"Haaah?? Rajin banget !! Trus diapain tuh gigi??", tanya saya cengo bin heran.
"Ya untuk dilihat-lihat atau diamat-amati. Ntar kalo anaknya dah besar, kan bisa jadi kenangan tersendiri."
"O gitu ya...".
"Iya. Malah ada juga kakek-kakek atau neneknenek yang giginya copot, juga disimpan baik-baik."
"Loh, untuk apa??" tanya saya bertambah heran.
"Ya untuk dikumpulin. Dan kalo dah banyak, bisa disatuin dan dijadiin gigi palsunya sendiri.."
"Haaaaa?????", saya terkejut asli.
"Ha..ha..ha..ha...ha....", Kumiko tertawa lebar melihat saya.
Jadinya kami tertawa bareng. Untuk yang terakhir ini, saya tidak tahu, apakah Kumiko serius atau bercanda.

Saya jadi teringat kejadian enam tahun yang lalu, ketika si M baru lahir. Saat pulang dari rumah sakit, kami mendapatkan hadiah dari rumah sakit dan sponsor, termasuk didalamnya kotak kayu berukuran mungil. Di bagian atas kotak itu, tertulis nama lengkap si M. Setelah saya tanyakan ke suami, ternyata dalam kotak itu tersimpan ari-ari alias tali pusar si M !!

Waduh, saya jelas tidak berani melihat dan memang tidak ada niat sama sekali untuk mengoleksinya. Sampai sekarang, saya lupa, apakah kotak itu sudah saya buang atau tidak. Yang jelas di laci-laci rumah, kotak itu sudah tidak ada lagi.

Hm, saya baru tahu, ternyata orang Jepang terbiasa mengoleksi yang aneh-aneh. Dari pusar bayi, sampai gigi yang copot. Saya penasaran, apakah mereka juga akan mengoleksi bagian tubuh mereka yang lain, kalau misalnya satu saat terjadi kecelakaan yang menimpa?
Saya tidak berani membayangkan misalnya, ada jari yang terputus karena luka tersimpan dengan manisnya dalam kotak mungil  atau ginjal hasil operasi yang disimpan dalam toples cantik berisi air pengawet.
Siapa tahu satu saat nanti jadi kenang-kenangan, dan bisa dilihat-lihat kapan saja bila diinginkan.

Hiiiiiiiiiiiyyy.......



Cerita Haji: Jejak Kaki di Mekkah

20 February 2007 | comments (9)

Perjalanan menuju Jeddah lumayan jauh. Dari Jepang, kami transit dulu di Malaysia sehari semalam. Jepang-Malaysia memakan waktu kurang lebih 6 jam. Dan Malaysia-Jeddah sekitar 9 jam. Total 15 jam kami menghabiskan waktu di pesawat.

Di Malaysia, saya sempat mengalami kejadian menegangkan. Ceritanya saat itu, kami berempat, saya dan suami, sahabat saya dan suami, menikmati makan malam di salah satu restoran bandara, sekitar jam 11 malam. Setelah makan kami berempat berjalan kaki menuju hotel transit, yang jaraknya cuma 5 menit berjalan kaki. Tapi karena perut yang kenyang, dan mata yang sudah 5 watt, kok rasanya jauh juga. Untunglah kami ketemu mobil kecil yang biasa digunakan di bandara untuk mengantar orang-orang yang berseliweran di bandara.

Tak lama kami sudah tiba di ruang depan hotel. Para suami berjalan di depan, sedangkan saya dan sahabat saya berjalan di belakang. Tiba-tiba saya tersadar...., loh kok badan saya ringan. Tidak ada sesuatu yang menempel di badan saya......dan....oh tidak..
Saya baru sadar, tas yang biasanya saya selempangin, ternyata sekarang tidak ada !!!!

Saya panik, sambil berusaha keras mengingat-ingat dimana saya letakkan tas itu. Aha, mungkin di restoran. Saya panggil suami, dan dengan cepat suami saya dan suami sahabat saya, berlari-lari kembali ke bandara menuju restoran itu. Sedangkan saya dan sahabat saya, menyusul di belakang dengan napas terengah-engah.

Kejadian lagi deh, gerutu saya dalam hati, menyesali kecerobohan yang berulang kembali.
Di dalam tas itu, ada paspor, tiket, ID card, dompet berisi sedikit uang yen.
Duh, semoga tidak ada yang mengambil, saya terus berdoa dalam hati.
Sementara itu sahabat saya terus menghibur, dan menemani saya, padahal saya yakin, dia juga ngga kalah capeknya dengan saya. Ah, terima kasih sahabatku..dikau bener-bener sahabat sejati....

Di restoran, di meja yang kami duduki, sama sekali tidak ada tas. Pun ketika kami menanyai pelayan restoran, tidak ada yang tahu.
Saya panik sekali, sambil berusaha mengingat kembali, tempat yang saya singgahi setelah makan malam di restoran.

" Ya ampun, Min, aku baru inget. Tadi aku kan sempet ke toilet yang di lt.2 sebelum kita jalan kaki ke hotel itu loh. Pasti di sana ketinggalannya", ujar saya.
" Ya sudah, yuk cepat ke sana. Mudah-mudahan tasnya masih ada.", dengan semangat sahabat saya menarik tangan saya.

Tepat di depan toire, tampak seorang wanita petugas kebersihan tengah mengunci pintu toilet yang di dalamnya terletak tas kecil saya. Saya segera menghampirinya, dan mengatakan bahwa itu adalah tas saya. Dia tersenyum dan berkata bahwa saya harus lebih hati-hati, karena masih untung dia yang melihat ada tas tertinggal, sehingga dia bisa mengunci pintu itu supaya tidak ada orang lain yang bisa masuk ke dalam toilet itu, sampai pemilik tas ditemukan.

Saya periksa semua isi tas, alhamdulillah, semuanya komplit. Diluar toilet para suami sudah menunggu. Suami sahabat saya sempat nyeletuk,"Wah, kalau ketinggalannya di toilet mah, sampai kapanpun kita ngga akan bisa nemuin. Lah toilet perempuan, gimana cara masuknya coba?"
Kami semua nyengir.....

Kami pun berjalan kaki menuju hotel, dengan baju yang basah dengan keringat akibat sprint kesana kemari. Sayang, kami tidak menemukan mobil kecil yang bisa ditumpangi.
Saya lirik jam, ternyata sudah jam 12 malam. Bergantian saya dan sahabat saya menguap....duh...ngantuknya.....

****************

Keesokan siangnya, setelah sholat zhuhur berjamaah, kami dengan penampilan serba putih, berkumpul di bandara. Siang ini pesawat MAS akan membawa kami dan rombongan haji lainnya menuju Jeddah. Perjalanan 9 jam tidak terasa lama. Mungkin karena semangat yang begitu membara karena sebentar lagi kami akan ihrom.

Satu jam sebelum miqot, pilot mengingatkan kepada seluruh penumpang bahwa 30 menit kedepan, pesawat akan melintasi miqot. Sebagian besar rombongan haji lainnya, melafazkan niat ihrom. Ustadz mewanti-wanti kami, supaya tidak ikut berihrom dulu, sampai 5 menit sebelum melewati miqot. Sambil menunggu waktunya, kami menyibukkan diri dengan zikir.

Tepat lima menit, kami melafazhkan niat ihrom.
Dalam hati saya berdoa semoga Allah meluruskan niat kami dan memudahkan kami melaksanakan tahapan-tahapan ibadah haji dan umroh.....

Kami tiba di Jeddah di waktu Isya. Kami berdiam di bandara sampai waktu Subuh. Proses yang dijalani memang sangat memakan waktu. Persis seperti yang diucapkan seorang teman yang sudah berhaji.
"Di bandara saja, sudah banyak ujian loh. Waktunya lama dan kitapun ngga bisa istirahat. Jadi perbanyak saja kesabaran."

Setelah sholat subuh berjamaah, kami menaiki bus yang sudah siap membawa kami memasuki kota Mekkah. Jarak Jeddah-Mekkah kurang lebih sekitar satu jam, kalau arus lalu lintas sedang lancar. Syukurnya, perjalanan waktu itu lancar.
Beberapa saat kemudian, ustadz menginformasikan kepada kami, bahwa saat itu bus sudah memasuki kota Mekkah.

Saya perhatikan jalan-jalan besar yang dilalui bus, persis seperti jalan tol di Jakarta. Bedanya jalannya berbukit-bukit. Di sisi kanan kiri jalan tampak bangunan-bangunan batu. Orang-orang dengan wajah khas Arab berlalu lalang dengan pakaian jubah panjang. Seperti memasuki film Ar-Risalah, pikir saya.

Saya menarik nafas panjang, menahan rasa haru dalam hati. Ya Allah, saya sudah memasuki kota yang paling bersejarah di muka bumi. Sebuah kota yang didalamnya terjadi peristiwa agung. Suatu peristiwa yang mengubah garis sejarah seluruh umat manusia. Kota dimana kebenaran sejati bermula. Kebenaran yang akan menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya-Nya.

Di kota inilah sosok mulia itu menjejakkan kakinya, melewati jalan yang berbukit-bukit, menyampaikan kebenaran dengan susah payah, walau harus mendapatkan penindasan, siksaan, hinaan dan caci maki dari penduduk kota ini. Sosok mulia itu tetap teguh dan tegar menghadapi semua itu. Dengan beberapa sahabat setianya, bersama-sama mereka menjejakkan kaki di seluruh sudut kota ini, bersama-sama berusaha menyebarkan cahaya Islam.

Saya seperti melihat jejak-jejak kaki sosok mulia itu, di tanah-tanah dan di bukit-bukit kota Mekkah. Rasa haru tak tertahankan, membayangkan perjuangannya menegakkan risalah Islam. Mengingat kecintaannya kepada umatnya yang melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri.

Saya terdiam, terpaku menatap jejak-jejak itu.
Berharap, semoga saya bisa masuk ke dalam barisan jejak-jejak yang meninggikan kalimat-Nya, sebagaimana sosok mulia dan pengikut setianya itu melakukannya.....









Cerita Haji: Menjelang Keberangkatan

28 January 2007 | comments (11)

Adegan india yang berlangsung beberapa saat di siang hari itu, akhirnya selesai sudah. Saya kembali disibukkan dengan urusan perkoporan... (kok belom beres2 siiiihhh).
Iya nih, sebenarnya udah beres, cuma kan kudu ngecek lagi. Apalagi sorenya, sang kopor besar akan diambil oleh jasa pengiriman kopor ke bandara. Kami biasa memakai jasa ini, karena jarak dari rumah ke bandara yang.....jauuuuhh sekali. Sekitar tiga jam-an. Harganya lumayanlah, dibanding hebohnya ngangkut-ngangkut naik turun tangga di stasiun kereta dimana itupun harus beberapa kali berganti-ganti kereta.

Sebisa mungkin, saya mengurangi jumlah barang dalam kopor. Maksudnya, yang perluuuu banget yang dibawa. Soalnya saya yakin banget, balik dari haji, pasti isi kopor udah beranak pinak sampai ke buyut

Satu jam sebelum diambil, kopor dah rapi. Berikutnya, saya disibukkan kembali dengan urusan beresin rumah. Saya pengennya meninggalkan rumah dalam keadaan rapi jali. Supaya pas balik nanti, ngga stres gitu loh ...ngeliat ada kapal yang pecah di rumah..
Segala isi rumah saya rapihin dan bersihin, dari kamar mandi, wc, dapur, kamar tidur, kulkas...dan semuanya beres setelah jam 11 malam !!! Waduh, lama juga ya.

Oiya, diselang saya melakukan kegiatan bersih-bersih, tiba-tiba ada telepon berdering jam 10 malam. Saya perhatikan nomornya, oooo....ternyata dari Mamanya Fadhil.
Wah, ada apa nih, pikir saya. Pasti ada apa-apa dengan si Mushab....

"Halo, assalamualaikum, Rin. Masih sibuk yah? Ini ....si Mushab mau ngomong."

"Waalaikumsalam. Loh bu Robiah, bukannya udah pada bobo jam segini?"

"Iya...udah pada bobo. Tinggal Mushab aja yang belum. Katanya dia ngga bisa tidur. Mo nelpon dulu ke mama."

Suara di seberang telepon tiba-tiba sudah berubah....

"Mama....ini Mushab. Mushab nemuranai....".
Suara makhluk kecil di seberang terdengar pelan.

"Ya ampun, Mushab kenapa sayang? Mushab belum baca doa bobo kali?
Udah sholat Isya belum? Trus tiap malam sebelum bobo, jangan lupa sikat gigi ya.
Trus jangan nahan-nahan pipis. Jangan.....".
Saya tanpa perasaan terus nyerocos dengan doktrin-doktrin harian

"Mama.....", Mushab menghentikan omongan saya yang melaju seperti shinkansen.

"Iya, kenapa sayang?"
Saya berusaha mendengar secara seksama dan mengira-ngira nada suaranya yang makin lama terdengar seperti sedang menahan tangis.

"Mama,.....Mushab... Mushab....mau....mau... ketemu... Mama...".

Suara sesenggukan itu semakin jelas, menyelingi kata-kata yang diucapkannya.

Hhhhh, saya menarik napas. Setahu saya, anak ini tegar sekali. Malah minggu-minggu sebelumnya, ketika latihan nginep di rumah Fadhil, dia begitu senang. Sampai-sampai keenakan ngga mau pulang dari sana.

"Mushab sayang, dengerin Mama yah. Insya Allah, Mushab nanti bisa ketemu Mama sama Papa, kalau Mama Papa udah selesai naik haji. Mushab doain aja supaya Mama Papa sehat trus bisa ketemu lagi sama Mushab yaaa...
Mushab kan anak sholeh, pasti disayang Allah. Kalo udah disayang Allah, nanti doa-doanya didengeri sama Allah.
Sekarang, Mushab berdoa sama Allah ya sayang. Minta sama Allah, supaya Mushab bisa bobo nyenyak ya...."

"Iya...."

"Insya Allah kalau udah sampai di sana, Mama nanti telpon Mushab kok sayang..."

"Nanti Mama telponnya mainichi ya?"

"Hmm, nanti Mama liat dulu....soalnya mahal sayang..".
Hihihi, jiwa ngiritnya kambuh lagi nih :D

"Udah sayang. Mushab jangan nangis lagi ya.
Sekarang bobo aja sayang. Jangan lupa berdoa."

"Haik, wakatta. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Gagang telpon berpindah. Saya minta maaf ke bu Robiah karena sudah merepotkan. Bu Robiah dengan suaranya yang ramah menjawab kalau dia malah senang ada Mushab. Jadi berasa punya anak kecil lagi.....hehehe. Anaknya memang sudah besar-besar. Yang tertua kuliah di Jogja. Yang kedua sudah SMP. Yang ketiga kelas 6 SD, dan si bungsu laki-laki satu-satunya kelas 3 SD. Makanya beliau senang dengan Mushab, apalagi si Fadhil, jadi punya adik laki-laki

Kembali ke soal beres-beres dan bersih-bersih, setelah jam 11 malam lewat sedikit, saya memutuskan untuk tidur. Apalagi si doi sudah dari tadi mendarat ke pulau kapuk.
Hoaaammm....saya menguap berkali-kali.
Tidak berapa lama, saya terkapar dengan sukses dibalik hangatnya selimut

****************

Pagi hari, setelah sholat subuh, saya dan suami langsung bergerak. Mengerjakan beberapa yang tersisa. Suami kebagian membuat label untuk digantungkan di dua buah kopor besar kami, di bandara nanti.

Bukan cerita baru, kopor-kopor jamaah haji banyak yang hilang ngga jelas rimbanya. Untuk menghindari hal itu, maka setiap anggota rombongan memasang label dengan cara menempel atau mengikatkan di kopor dan tas miliknya.

Saya kebagian mengecek kembali isi barang-barang di dua kopor kecil. Setelah itu saya
memasak sarapan pagi, yaitu telor dadar...hehehe. Pilih yang gampang lagi :D

Jam setengah sembilan, kami sudah siap. Saya membawa tas kecil yang diselempang dan kopor dorong berukuran kecil. Suami memakai tas pinggang dan tas kopor yang disanding ke punggung seperti ransel.

"Bismillahirrahmanirrahim...". Dalam hati saya berdoa, semoga tidak ada yang tertinggal. Saya berusaha mengingat semua berkas yang diperlukan. Saya buka kembali tas kecil. Paspor, tiket...semua ada.

"Ya Allah, semoga aku dan suami masih diberi kesempatan untuk kembali ke rumah ini lagi."
Doa saya selanjutnya, setelah suami mengunci pintu rumah kami yang terletak di lantai tiga.

Kami berpamitan dengan oya-san, yang rumahnya terletak di samping apartemen. Kemudian kami berjalan kaki menuju stasiun kereta yang jaraknya sekitar 13 menit dari rumah.

Baru limapuluh meter berjalan.....

"Mama..udah dicek semua? Tiket? Paspor? ID-card?"
Suami saya mengingatkan.

"Astaghfirullah,.....ID-Cardnya....ketinggalan !!", setengah teriak saya teringat, hanya memasukkan uang ke dalam dompet baru. Seluruh isi dompet lama, termasuk ID-card, masih tetap tersimpan di dompet lama yang saya tinggalkan di rumah.

Sebelum mendengar ucapan suami berikutnya, saya segera berlari menuju apartemen kami. Terburu-buru saya menaiki tangga menuju lantai tiga.

"Ya Allah, Alhamdulillah, Engkau mengingatkan saya lewat suami. Ngga kebayang deh keluar Jepang ngga bawa ID-card....", saya bersyukur dalam hati sambil menyesali kecerobohan saya yang memindahkan isi dompet lama ke dompet baru dengan tidak teliti.
ID-card atau KTP untuk warga asing di Jepang, memang harus dibawa kemanapun, termasuk ketika bepergian keluar Jepang.
Kalau tidak, bisa-bisa saya ga boleh masuk ke Jepang lagi

Duh, semoga ini kecerobohan pertama dan terakhir selama perjalanan haji ....















Cerita Haji: Siap-siap

25 January 2007 | comments (12)

"Jilbab, blus panjang, kulot, handuk, perlengkapan mandi....."
Saya periksa kembali isi kopor yang sudah tertata sebagian. Sambil sesekali melihat kertas print yang berisi list barang-barang yang perlu dibawa.

"Ya ampun, senter kecil belum dibeli. Bantal tiup juga belum...."
Ternyata masih ada beberapa barang yang masih harus dibeli lagi.

Besoknya, ketika melanjutkan usaha penataan dua kopor besar dan dua kopor kecil, lagi-lagi adaaaaa saja barang-barang yang masih perlu dibeli.

"Waduh, kalo gini kapan beresnya yak..", saya jadi bingung sendiri. Padahal waktu keberangkatan tinggal dua hari lagi.
Walhasil, sampai malam sebelum hari H, saya masih terus berburu.
"Wajar kali ya, bolak balik belanja gini. Namanya juga perjalanan panjang".
Hehe...nyari pembenaran nih judulnya

Alhamdulillah, akhirnya beres juga. Sekarang tinggal nyiapin mental, ninggalin si Mushab.
Selama haji, si Mushab dititipkan di rumah kawan saya, yang kebetulan anak bungsunya jadi idolanya Mushab
Makanya si Mushab bahagia banget pas saya bilangin dia bakal tinggal serumah sama Fadl selama saya dan suami haji.

Kami berangkat hari Minggu pagi, dan rencananya Sabtu siang nanti, Mushab diantar suami ke rumah teman saya itu. Saya sendiri ngga ikut, karena lagi ngga enak badan....(kecapean abis bolak balik belanja mulu..hehehe)

Sabtu pagi, saya siapkan barang-barangnya Mushab. Siangnya, setelah sholat Dzuhur....
"Mushab, Mama ngga ikut antar ya. Mushab sama Papa aja perginya.".
Masih dengan mukena, saya belai rambut halus Mushab sambil menahan hati yang bergejolak dan gumpalan air di mata saya.

"Iya, Mushab ngga apa-apa kok. Mama istirahat aja di rumah yah, kan besok Mama mo pergi..."
Wajah mungil di hadapan saya terlihat tenang, sambil tangannya mengelus wajah saya.

"Mushab, gomen ne. Mama suka marah-marah sama Mushab. Hontou wa..., Mama sayang banget sama Mushab".
Saya peluk badan kecilnya. Gumpalan air di mata saya langsung tumpah. Membasahi coatnya Mushab.

"Mama...kenapa nangis? Mama jangan nangis dong..Mushab jadi sedih juga nih.."
Tiba-tiba mata mungilnya mulai memerah.
"Mama, Mushab juga gomen ne. Mushab suka ngga dengerin Mama......".
Dipeluknya saya erat-erat.

"Ayo Mushab, berangkat.", ajak suami saya yang dari tadi sudah berdiri di dekat pintu.

Saya lepaskan pelukannya.
"Mushab, gambatte ne. Doain Mama sama Papa ya..."

Akhirnya, badan mungil itu lenyap dari hadapan saya. Terdengar dari balik pintu suara Mushab yang melengking karena menangis.
Pipi saya pun semakin basah....




Kenangan Haji

| comments (18)

Dua minggu yang lalu saya tiba di Jepang, setelah 18 hari melewati perjalanan yang begitu indah.
Fiuuuh, cepatnya waktu berlalu. Bagaikan mimpi indah yang hanya berlangsung sekian jam, tiba-tiba saya sudah terbangun dari balik selimut tebal dan menjalani kembali rutinitas hidup seperti semula .

Hari-hari pertama di Jepang, saya lewati dengan susah payah. Bukannya apa-apa, tapi ada dua orang yang sedang sakit di rumah ini yang harus saya rawat.
Yang pertama, anak saya yang terkena cacar air, dan yang kedua....ya saya sendiri.....

Alhamdulillah banget, saya tumbang justru setelah berhaji. Ngga kebayang deh kalo tumbangnya pas di sana....glek

Karena saya tumbang, terpaksa deh umat di rumah, makannya jadi kurang gizi. Kalo ga abon, ya indomi...
Sekali-sekali suami beli juga sih makanan jadi di luar, tapi ya itu ..pilihannya ga banyak.

Sama dengan si kecil, selama berhari-hari, saya kerjanya cuma: makan...tidur...sholat...makan...tidur...sholat.....
Walhasil, rumah dah seperti kapal yang pecah berkeping-keping. Dua kopor besar dan kecil tergeletak tak berdaya dengan sebagian isinya yang berceceran di sana sini.
Saya yang sebenarnya pecinta kerapihan..(ciee) terpaksa bertahan melihat ada kapal yang pecah di rumah ini.

Alhamdulillah, seminggu kemudian kondisi sudah mulai membaik. Dan gerakan bersih-bersih dan beres-berespun bisa dilaksanakan

Cuma, hati saya kok ga bisa diajak riang ya. Walaupun saya dah mulai banyak berkicau seperti biasanya, tapi teteeeeeeuuuup aja hati masih terasa sedih.

Iya...memang bener....saya masih teringat-ingat dengan perjalanan haji. Saya masih ingat dengan jelas, bukit-bukit batu di kota Mekkah, iringan manusia yang menyemuti Masjidil Haram, orang-orang yang thawaf di sekeliling Kabah, tenda-tenda besar berwarna putih yang terhampar di Mina dan Arafah, sebuah mesjid megah di Madinah yang didalamnya terbujur jasad manusia paling mulia di muka bumi.......

Masih banyak lagi, kepingan-kepingan kenangan yang selalu membayangi pikiran saya entah sampai kapan....

"Mama, kenapa menangis? Mama ingat haji lagi ya?
Kalau begitu Mama ngga boleh nonton haji lagi ah....abis nangis mulu..."

Anak saya protes, setiap saya menonton film-film dokumenter seputar haji, hasil browsing di internet, selalu saja ada air yang jatuh...setetes demi setetes...

Ah, perjalanan yang sangat indah dan seumur hidup tidak akan terlupakan. Juga kawan-kawan seperjalanan yang sudah seperti keluarga sendiri, membuat perjalanan haji semakin indah dan bermakna......

********

Sejak beberapa hari yang lalu, saya mencoba menuliskan pengalaman haji yang saya alami.
Tapi yang ada, saya malah keasikan mengingat, menghayati dan meresapi potongan-potongan memori yang berkelebat di pikiran saya......seolah-olah saya benar-benar sedang hadir di sana

Ngga ah....saya harus kuat, masak cengeng banget sih
Kalo terus-terusan sentimental begini, gimana bisa hidup normal....

Ayo  nulis...nulis





 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Kehidupan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger