16 Juni 2009.
Pagi-pagi sekali suami pergi ke RS. Hari ini operasi dilakukan pukul 9.
Selama suami pergi, seharian itu saya gelisah menunggu sms darinya.
Ya, saya ingin tau terus menerus kabar si tengah.
Pukul 9.45 si tengah masuk ruang operasi. Tak putus-putus saya berdoa.
Semoga operasinya berjalan lancar. CPS, memang tergolong operasi kecil.
Tapi tetep saja, tindakan medis sekecil apapun pasti ada resikonya.
Pukul 12 kurang, operasi selesai. Suami diminta menjemput si tengah di depan pintu ruang operasi. Suami cerita, si tengah menangis meraung-raung. Sepertinya pengaruh bius mulai menghilang, dan mungkin saja dia mulai merasa sakit dimulutnya. Sementara itu dari hidung dan mulutnya keluar darah, sisa luka operasi.
Sejak itu, si tengah dipeluk suami terus. Dia tidak mau dilepas. Walhasil baju suami jadi penuh darah. Suami sms saya, minta saya dan si sulung datang untuk melihat si tengah. Siapa tahu dia lebih terhibur dengan kehadiran semua. Sedangkan si bungsu dititipkan ke hoikuen saja, kata suami.
Jadinya, siang itu saya sibuk sekali. Saya siapkan perlengkapan si bayi 5 bulan. Setelah itu, dengan terpaksa saya tinggalkan si bayi, saya beli pampers dan bento untuk suami, yang sama sekali ngga bisa kemana-mana, karena terus menggendong si tengah. Lalu saya balik ke rumah, meletakkan belanjaan. Trus saya pergi lagi ke sekolah si sulung. Dan setengah berlari saya menuju lantai 4, ke ruang kelasnya si sulung. Saya harus cepat-cepat, mumpung masih jam makan siang.
Dari sekolah, saya dan si sulung menuju hoikuen. Sekitar 7 menitan dengan sepeda. Si bayi kecil saya gendong di belakang. Masih dengan nafas tersengal-sengal, saya masuk ke jidokaikan yang bisa jadi hoikuen dengan bayaran perjam. Tapiiiii....., ternyata saya ngga bisa menitipkan si bungsu, berhubung untuk nitipin harus yoyaku (=booking) sehari sebelumnya. Ya ampun. Saya ngedumel dalam hati. Saya lupa kalo di Jepang ini, semuuuaaa harus serba yoyaku
Tapi saya masih ngotot. Dengan suara dan tampang dimelas-melasin, saya jelaskan kalau saya harus menjenguk anak saya yang baru dioperasi. Dan bayi ini tidak boleh dibawa ke RS.
Yah, ini Jepang bu. Namanya peraturan harus ditaati. Biar kate dalam kondisi gawat darurat kyk sekarang. Lagi-lagi saya ngedumel melihat penolakan mereka. Walau diringi kalimat permohonan maaf dari mereka.
Syukurnya, saya teringat ada teman singapur yang baik hati, yang rumahnya ngga terlalu jauh. Dan alhamdulillah, dia bersedia dititipin si bungsu.
Singkat cerita, akhirnya sekitar pukul 5 lewat saya sampai di RS. Sayangnya si sulung ngga boleh masuk. Yang boleh hanya orangtua pasien saja.
Sampai di kamar, saya terkejut sekali melihat si tengah. Kondisinya itu, jauuuh berbeda dengan hari kemarin. Mukanya terlihat lemas, dengan mata yang bengkak, sepertinya karena kebanyakan menangis. Sekitar mulut dan hidung masih keluar tetesan darah. Kedua lengannya diganjal dengan semacam karton, agar tangannya tidak bisa memegang muka. Di salah satu tangan menempel jarum yang tersambung dengan selang infus.
Lalu dipunggungnya diletakkan seperti tas ransel yang berisi bantal es, untuk mendinginkan tubuhnya yang demam.
Mata saya berembun. Cepat saya rengkuh dia dalam pelukan saya. Diapun menangis, melihat saya, ibunya yang ditunggu-tunggunya. Sekuat tenaga saya menahan tangis. Badannya panas. Dia gelisah sekali. Mungkin kagok dengan kondisi mulutnya.
Suami dan sulung sudah pulang. Saya masih bertahan di sini. Seharusnya pukul 8 malam jam bezuk selesai. Tapi kata perawat, karena si tengah baru saja operasi, tidak apa-apa kalau ibunya mau lebih lama lagi menemani dia. Syukurlah.
Pukul 10 malam, saya diusir. Percayakan pada kami, kata perawat. Akhirnya saya keluar dari ruangan, diiringi dengan tangisan si tengah. Darah dari hidung dan mulut masih terus keluar.
Jilbab saya pun berdarah-darah. Untung warnanya gelap, jadi ngga begitu kelihatan.
Malam itu hujan. Sambil memegang payung, saya berjalan menuju stasiun. Mata saya basah. Juga hati saya. Tidak tega rasanya meninggalkan si tengah. Ingin rasanya terus menerus berada di sampingnya, sampai kondisinya pulih. Tadi sore saya minta suami ngomong ke perawat untuk merubah opsi perawatan si tengah. Saat ini opsinya adalah perawatan tanpa ortu, di lantai 3. Sedangkan perawatan bersama ortu yg nginep ada di lantai 6.
Ternyata, untuk perawatan dengan ortu, semua sudah terisi, alias full. Ada sih, kamar khusus dengan pelayanan VIP, tapi harganya selangit. Sepertiga gaji suami. Glek.
Ya sudahlah. Memang sudah takdir.
Sampai di rumah, pukul 11. Semua sudah tidur. Saya bersihkan badan, lalu berwudhu dan sholat. Saya menangis sejadi-jadinya. Teringat terus dengan keadaan si tengah tadi.
Ya Allah, beri saya kekuatan. Ya Allah, lindungi selalu anakku....beri dia kesembuhan secepatnya............................
NEXT
HARI KETIGA; Demam Tinggi
+ comments + 6 comments
rin... kok gak telepon ke sini... meski jauh saya bela-belain deh ke sana jagain anak-anak kalo mau ke rumah sakit... hiks..
rin gak ada tetengga dekat-dekat otsuka? * di niigata mulai gak ada tetangga org indonesia
smoga muadz cepet sembuh ya.. amin.* jd ingat adikku ( almh ) yg operasi CPS juga..siuman langsung ngubek2 mulutnya..ada yg aneh kali ya..dijahit jdi terasa ada yg terikat.
semoga cepat sembuh ya, sediiiih deh mbacanya.....tabah ya mba Rina...
ya Allah....semoga di sembukan Allah segera......di kuatkan hatinya,insyaAllah segalanya akan baik baik saja!
di sini banjir nih mbak... T_T
semoga semua diberikan yang terbaik oleh Allah
(bingung mau bilang apa, semoga sabar, pastinya mbak rina lebih sabar daripada saya)
sedih baca ceritanya Rin...ini yaa..penyebab muaz nginep di rs. Sabar yaa Rin...
Post a Comment