Ngga terasa minggu ini sudah mid test. Kayaknya baru kemarin masuk ajaran baru.
Masih teringat sekali, saat penerimaan rapor kenaikan kelas, empat bulan yang lalu. Yang pertama kali saya tanyakan ke walikelas anak saya, adalah....apakah anak saya naik kelas atau tidak. Alhamdulillah, ternyata naik, dan itupun si walikelas menjawabnya sambil cengar cengir karena melihat tampang saya yang ngga jelas bentuknya saking khawatirnya.
Ini adalah kali pertama saya merasa khawatir tentang naik or tidak naik kelasnya anak saya. Gimana ngga, kosa kata anak saya masih terbatas -terutama untuk kata-kata resmi yang sering muncul di buku-buku pelajaran- padahal materi yang harus dipelajari, banyaaaakk sekali. Secara baru setahun dia sekolah di Indonesia. Di semester akhir memang sudah lumayan kemajuannya, tidak seperti bulan-bulan pertama dia sekolah dulu, yang baca tulis masih seperti anak kelas 1 sd.
Kalau melihat materi pelajaran untuk anak kelas 4 sd, kok sepertinya berat banget ya. Seperti melihat materi pelajaran jaman saya SMP dulu. Anak saya sendiri mau ngga mau belajar dengan keras, di awal sekolah, untuk sekedar menambah dan memahami kosa kata baru setiap harinya di setiap buku pelajaran yang berbeda. Ini baru belajar kosa kata loh yah, belum sampai tahap paham akan isi materi yang terkandung di buku.
Untuk pelajaran matematika, yang banyak menggunakan angka, dia masih mudah untuk adaptasi. Tapi untuk pelajaran-pelajaran dengan kalimat-kalimat rumit, seperti PKn, IPS dan bahasa Indonesia, wah, benar-benar butuh kesabaran ekstra deh. Baik emaknya ataupun anaknya. Lah emaknya yang udah sepuh gini ikutan bete baca buku pelajarannya. Syukurnya, sekolah tempat anak saya sekolah, tidak termasuk sekolah yang suka "menyiksa" anak. Tidak ada tekanan. Setengah serius setengah santai. Yang serius cuma untuk anak kelas 6 saja, untuk persiapan UAN. Guru-gurunya juga baik dan berbaur dengan murid-muridnya. Sholat bareng-bareng sampai main bola juga bareng-bareng.
Sebenarnya, setelah menetap di Indonesia, saya dan suami, ngga terlalu berharap muluk .dengan prestasi akademik sang anak. Yang penting anaknya enjoy sekolah dan bisa naik kelas itu sudah cukup. Apalagi dengan kondisi pendidikan di sini, yang umumnya lebih menekankan kecerdasan akademik pada anak usia sekolah. Seakan-akan di dunia ini cuma satu jenis kecerdasan itu saja yang dibutuhkan untuk hidup. Padahal hasilnya? Lihat saja sendiri. Anak-anak jadi malas sekolah, bosan dengan sekian banyak mata pelajaran yang harus mereka kuasai, hanya untuk mendapatkan ranking.
Jadi inget dengan pengalaman nyekolahin anak selama 6 tahun di Jepun sono. Benar-benar asli santaiiiii. Baik anak ataupun ortu. Di sana ngga ada istilah ngga naik kelas. Semua anak pasti naik kelas. Ngga ada rangking-rangkingan. Ngga ada UTS, ngga ada UAS. Yang ada cuma ulangan harian. Ulangan harian ini pun ngga dibuat susah. Karena fungsinya cuma untuk mengetahui sejauh mana anak paham dengan materi pelajaran yang diberikan.
Untuk anak kelas 6, UAN pun tidak ada. Semua anak pasti lulus, dan bisa langsung masuk ke SMP. Jadi anak-anak ngga akan stress, dan ngga perlu sampe ada kasus contek massal segala, demi lulus sekolah. Penilaiaan yang tertulis di raport pun, tidak berbentuk angka. Tetapi berbentuk tiga kalimat: Baik sekali, Baik, dan Lebih Berusaha. Saya melihat ini sebagai bentuk penghargaan kepada setiap anak, apapun kecerdasan yang mereka miliki.
Fasilitas sekolah negeri juga standar. Mau yang dipelosok desa ataupun di tengah kota, sama-sama punya lapangan olah raga yang luas dan kolam renang. Biaya pendidikan juga gratis. Buku-buku ngga perlu beli. Langsung dibagikan ke semua murid oleh pihak sekolah. Yang bayar cuma biaya catering, atau kegiatan sekolah yang dilakukan di luar seperti tur, dll. Baju seragam juga ngga perlu, karena untuk SD, baju yang dipakai adalah baju bebas.
Saya melihat, beginilah profil sistem pendidikan yang mendekati ideal. Tidak ada proyek-proyekan dalam sekolah, tunjangan guru sama dengan pegawai swasta, fasilitas belajar yang lengkap dan nyaman yang bisa dinikmati semua anak di seluruh penjuru negeri, tanpa terbebani biaya di luar kemampuan orangtua.
Kapan ya, anak-anak Indonesia bisa merasakan seperti ini :(
+ comments + 4 comments
Salam kenal mBa... Sebenernya sekolah di sini bisa aja metodenya kayak di Jepun. Kalo mau.... Masalahnya terlalu banyak proyek menggiurkan yang sulit ditinggalkan, proyek UAN, proyek pengadaan buku, dll. Susah lah dilepas sama orang2 Diknas...
salam kenal juga bu. artikel yg sngt inspiratif...
salam kenal juga. makasih dah berkunjung :)
hehe, saya setuju. masalahnya berarti tinggal di mental penguasanya aja kan yak ^-^ ngga jauh2 dr urusan duit :( dan yg jadi korban, anak2 kita semua +_+
Post a Comment