Berkah Yang Sesungguhnya

23 December 2018 | comments



Sore kemarin ada yang menarik terjadi.

Saya naik angkot Riung Bandung dari simpang dago. Karena kursi di depan kosong, jadilah saya pilih duduk di depan, di sebelah pak sopir. Awalnya gak ada interaksi positif yang terjadi, sampai akhirnya mobil sampailah di sekitar gedung sate.

(Aslinya obrolan pakai bahasa Sunda, tapi saya terjemahkan dan rangkum biar lebih ringkas...obrolan terjadi hampir selama dua jam.)

"Mau turun di mana?", tanyanya pada saya. "Riung, pak". "Neng, Bu, turun di mana?", tanyanya pada penumpang lainnya. "Kiara condong.". Tidak ada yang aneh saya rasa dengan pertanyaan itu.

Pas di depan Pusdai, angkot tidak belok kanan ke jalan Citarum tapi lurus ke Supratman, jalan lebih pendek tapi konsekuensi gak bisa dapat muatan. Jadilah saya bertanya, "Mau langsung pulang pak?". "Enggak, saya ngepasin waktu, mau shalat Maghrib. Kalau hanya sampai Kiara condong rasa-rasanya masih cukup.", Jleb...cukup menohok jawabannya.

(Komentar saya gak dimasukkan, soalnya gak penting nambah nilai obrolan ini...)

"Kalau udah biasa shalat apalagi berjamaah mah rasanya ada beban kalau udah masuk waktu shalat masih di jalan. Saya mah kalau masuk waktu shalat insya Allah mengusahakan buat berhenti dulu. Terutama Maghrib yang waktunya pendek. Ya, sebelumnya minta maaf dulu sama seluruh penumpang yang saya turunkan di jalan. Semua penumpang gak akan saya tarik bayaran, bayarnya ke angkot selanjutnya saja."

"Gak perlu rasanya terlalu semangat mencari uang, sampai mengorbankan kewajiban utama kita. Cari nafkah itu wajib, tapi shalat lebih wajib. Yang penting itu bawa rejeki yang barokah. Bawa 100 ribu atau 10 ribu asal barokah mah insyaallah bermanfaat. Allah itu gak akan marah kalau kita mati gak punya mobil atau gak punya rumah. Tapi Allah akan marah kalau kita mati gak punya iman. Bahkan Rasulullah pun pernah berdoa supaya dimatikan dalam keadaan miskin supaya hisabnya ringan."

Tak lama sampailah kami di Kiara condong, semua sudah turun kecuali saya. "Maaf atuh mas, cuma bisa ngantar sampai Kiara condong.". "Sekalian saya juga mau shalat kok pak, bareng aja.". Lalu kami shalat di pom bensin terdekat. Setelah shalat, saya dibelikan kopi di tukang rokok langganannya di pinggir rel. Lanjutlah kami mengobrol.

"Saya mah bawa mobil ini mah anggap aja sebagai jembatan shirotol mustaqim, yang akan melalukan saya ke kehidupan selanjutnya. Saya juga ingin supaya mobil ini jadi saksi kalau saya ini banyak beribadah. Mobil ini sudah sering berhenti di banyak masjid. Saya pernah sebelumnya punya banyak mobil, ada yang angkot ada yang mobil biasa. Tapi ya kok gak bikin saya tenang, soalnya waktu itu mobil-mobil itu berhubungan dengan riba. Akhirnya saya lepas semuanya. Mendingan satu ini aja tapi bebas dari riba."

"Saya mah kalau di jalan, pas mobil kosong ya biasa aja, gak jadi kesel kalau mobil teman penuh. Lha kan kita juga pernah merasakan angkotnya penuh. Kadang teman-teman suka ada yang kesal kalau mobilnya kosong sedangkan yang lain penuh. Padahal kalau gitu berarti kita punya penyakit hati. Saya mah selalu minta sama Allah supaya dijauhkan dari penyakit hati seperti itu."

"Pas kita nanti mati mah yang dibawa kan cuma harta yang dibelanjakan di jalan Allah, ilmu yang diamalkan dan diajarkan dan anak Sholeh yang mendoakan. Tapi ingat, kalau mau punya anak shaleh, orang tuanya harus shaleh dulu. Apa yang dilakukan anak itu bisa jadi cerminan perilaku kita."

"Kita itu harus banyak beramal, supaya umur kita panjang. Bukan berarti umur tubuh kita, tapi umur dari kebaikan yang kita lakukan yang terus akan memberi manfaat dan diingat oleh orang yang ditinggalkan."

Terus kami mengobrol sampai akhirnya sampailah kami di Riung Bandung. Ah rasanya masih kurang lama saya menimba ilmu dari beliau. Mudah-mudahan perjalanan bapak setiap hari dari Riung ke Dago menjadi perjalanan ibadah dan dakwah. Dan ilmu yang disampaikan terus memberikan manfaat buat semuanya...

(Copas dari WA, Penulis Tidak Diketahui)

#PelajaranTtgHidup
#MaknaBerkah
#YangPalingPentingItuRidho-Nya

212

02 December 2018 | comments



Catatan Ust.Felix Siauw:

Tiap Jiwa Punya Cerita

Entah berapa juta tadi yang datang meramaikan Aksi 212 hari ini, masih perdebatan antara 7 hingga 10 juta. Manapun angkanya, sama-sama menyenangkan

Yang lebih saya soroti, tiap-tiap jiwa yang punya kisah dan cerita dalam menghadiri rangkaian acara itu. Pengorbanan yang dilakukan, makna dibalik semuanya

Saya sebagai warga Jakarta, tiba-tiba merasa badan saya seolah menyusut di gelapnya subuh itu. Merasa tak ada bandingannya dibanding para mujahid disekeliling saya

Mereka kebanyakan dari luar kota, ada yang dari malam, ada yang sengaja memesan kamar hotel sekeluarga, demi bisa menghadiri silaturahim akbar 212

Tak terhitung yang datang membawa anak-anak kecil bahkan yang masih tertidur, rupanya ghirah itu memang harus diajarkan sedari belum sadar

Saya merasa kecil, sebab pengorbanan saya tidak ada seberapa dibanding mereka semuanya. Kisah mereka pastilah lebih menarik, lebih penuh warna

Tak ada yang mengeluh, tak ada yang marah, saling mendahulukan sesama Muslim, tak lupa senyum dilempar pada siapapun yang ditemui, istimewa.

Selepas subuh, dipanjatkan doa buat seluruh kaum Muslim, saat disebutkan nama Allah dan Rasul, airmata sudah tak tertahan, tumpah semua disitu

Siapa yang sanggup, melihat sebanyak itu Muslim, datang dengan sukarela, berpanas-panasan, sabar sampai acara selesai, hanya untuk mengajarkan kebersamaan

Munajat bersama itu memang mengharukan. Karena tiap-tiap yang disitu sangat yakin, bahwa Allah takkan mengabaikan sebanyak itu Muslim

Yang didoakan bukan diri sendiri, tapi ummat, negeri Indonesia, pemimpin-pemimpinnya, negeri Muslim lain yang masih terjajah dan ternista

Sirna sudah rasa deg-degan pada diri saya tiga hari belakangan, selesai sudah. Sekali lagi, Muslim Indonesia mengajarkan para pembencinya, tentang kasih sayang

Terimakasih hadirin 212, terimakasih yang memanjatkan doa dirumah masing-masing, walau tak bersama, doa-doa itulah yang membujuk malaikat menjaga hadirin 212

#reuni212 #ukhuwah #kisah #cerita makasi fotonya mas @oyi_k 🙂🙂🙂

Just Say Alhamdulillah

10 October 2018 | comments

Yap, ngga ada yang nyangka, bahwa kota Palu di bulan Oktober 2018 ini akan mengalami bencana besar dan super dahsyat. Melebihi gempa Aceh dan Lombok. Who knows?

Melihat kondisi sebelum dan sesudah, membaca kronologis dan detik-detik kejadian, menyimak cerita-cerita sedih para korban,  sampai memperhatikan seberapa besar perhatian pemerintah terhadap bencana ini.

Benar-benar, sangat mengaduk-ngaduk emosi. Palu dengan sejuta kenangan di dalamnya. Kenangan masa kecil, kenangan bersama keluarga, teman dan sahabat. Delapan tahun bukan waktu yang singkat, untuk mengingat semua memori yang tersimpan sepanjang rentang waktu tersebut.

Saya sedih, berduka, dan hanya bisa mensupport lewat materi dan doa. Siapa saya? Ow, masih sangat jauh dari mereka. Mereka  teman-teman saya yang alhamdulillah tidak ada yang menjadi korban dan sampai saat ini sedang berjuang menjalani hidup sebagai korban bencana.

Saya harus banyak bersyukur dengan semua kenikmatan yang saya rasakan hingga detik, dan entah sampai kapan. Nikmat berada dalam kondisi aman dan nyaman. Nikmat berkumpul dengan keluarga, teman, orang-orang tersayang dalam kondisi yang baik-baik semua. Nikmat memiliki tempat berteduh dan segala fasilitasnya yang sangat lebih dari cukup. Nikmat memiliki tubuh dan organ yang berfungsi sempurna, tanpa luka, tanpa penyakit dan tanpa bantuan alat maupun obat.

Saya masih bisa menikmati udara yang segar, makanan yang enak, air yang berlimpah, kendaraan yang baik. Saya masih memiliki keluarga dan teman yang selalu berada di dekat saya, dalam keadaan apapun.

Ya, bersyukurlah. Berbagilah dan terus bergerak. Terus menjaga harapan dan terus bersemangat.  Terus berprasangka baik terhadap Allah dan terhadap manusia. Apapun kondisi saat ini, bahagia-sedih, sehat-sakit, lapang-sempit, semua wajib disyukuri.

Karena bersyukur adalah gratitude tertinggi yang mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan.
Tapi teruslah memaksa hati dan lisan untuk selalu bersyukur. Jangan sampai ada celah untuk mengeluh. Karena apapun keluhan kita, sesedikit apapun kita mengeluh, maka pada dasarnya kita sedang berburuk sangka terhadap Allah.

Jangan merasa sebagai orang yang paling malang. Allah tidak pernah menciptakan produk gagal.
Karena tidak ada orang yang ditakdirkan untuk menjadi orang yang kalah dan gagal dalam kehidupan ini. Yang ada, hanyalah orang yang memiliih untuk kalah, memilih untuk berputus asa, memilih untuk kecewa dan bersedih. Life is a choice.

Memilihlah untuk selalu menang, selalu optimis, selalu berhusnuzhon.
Selalu berharap hanya kepada Allah bukan kepada manusia. Dan yakin, apapun yang dilakukan selama itu sebuah kebaikan, maka ada Allah bersama kita.

Cerita Mudik

28 June 2018 | comments



Delapan tahun terakhir, sejak pindah ke Indonesia, saya ngga pernah mudik. Paling mudik versi KW10, dari Depok nyebrangin Jakarta menuju Tangerang, rumah ortu saya. Yang mana dalam waktu 1,5 jam kalo kondisi normal, bisa langsung nyampe.

Tapi untuk lebaran tahun ini, akhirnya saya bisa meresapi, gimana rasanya mudik yang sebenarnya.
Ya, kami ini, asli Gorontalo. Papa Mama asli orang sana. Mereka ngerti bahasa, makanan dan kebudayaan di sono. Anak-anaknya? Ya begitulah. Kadar kegorontaloan sangat menyedihkan. Ngga ngerti apa-apa hehe. Selain makanan sana yang serba pedas. Dan lautnya yang indah dan bersih.

Sebenarnya, lebaran di Gorontalo bareng anak-anak dan cucu-cucu yang mulai besar, itu keinginan almarhum Papa saya yang belum terwujud. Karena ya begitulah anaknya pada (sok) sibuk. Akhirnya, tahun ini, kami semua lebaran di sana, mumpung masih ada Mama yang sehat walafiat.

Kami ke sana agak diam-diam. Maksudnya,  ngga ngabarin ke sepupu-sepupu di sana, kalo kita akan ngerayain Lebaran di Gorontalo. Kami berangkat dua hari sebelum hari raya.

Di sana, kami memilih nginep di kost-kostan yang muat untuk keluarga besar. Kami ngga memilih nginep di rumah keluarga, karena khawatir merepotkan. Maklum, ada 15 orang.



Hari pertama di sana, dihabiskan untuk tidur seharian. Secara penerbangan dari Jakarta, di tengah malam buta jadi ngga sempet tidur malam sama sekali.
Malamnya, kami sempet-sempetin ngeliat tradisi tumbilatohe. Tradisi khas Gorontalo, yaitu menyalakan lilin di halaman depan rumah dan di jalan-jalan. Tradisi ini cuma ada tiga malam terakhir di bulan Ramadan. Silakan googling untuk detilnya ya.

Kami berkeliling memakai bentor, kendaraan khas yang cuma ada di sana. Becak motor. Mirip becak, tapi di belakangnya bentuk motor. Karena itu malam terakhir, walhasil sudah ngga seramai malam-malam sebelumnya. Tapi lumayan lah, menghibur hati dengan pemandangan yang sangat jarang ditemuin.

Besoknya, pas Lebaran, kami sholat ied di mesjid deket kost. Ada yang unik, sebelum sholat ied, imam menjelaskan tata cara sholat dengan bahasa Gorontalo. Saya dan adek saya, saling berpandangan sambil tersenyum-senyum dan tertawa kecil, mendengar ucapan imam yang sama sekali tidak kami mengerti. Hehe, ngga sopan ya.

Pulang sholat ied, kembali ke tempat kos, sambil mikir, hari ini makan apa ya. Restoran kira-kira ada yang buka ngga ya? Alhasil, sementara makan pagi, diganjel pake roti-rotian dulu. Ngenes juga, ngebayangin orang lain  pada bersukacita makan ketupat, opor, dan aneka hidangan khas lebaran.
Tapi tetep bersyukur sih, kami masih bisa ngumpul bareng di kampung tercinta.

Lebaran hari pertama, kami belum kemana-mana. Masih ngetem di kost. Untuk urusan perut, mau ngga mau terpaksa menuju mall di pusat kota Gorontalo. Jadinya seharian ini kami seperti anak mall. Siang makan di sana. Malem, balik lagi ke sana. Secara semua resto tutup boo...
Hehe...jauh-jauh ke Gorontalo, cuma buat ke mall. Kesiaan deeehh....

Lebaran hari kedua, keberadaan kami terendus juga. Dan mulailah  undangan-undangan dari keluarga besar di sana berdatangan. Episode makan di mall berakhir. Berpindah ke rumah-rumah saudara, dengan hidangan yang bikin kita kalap. Hehe. Semua makanan khas Gorontalo. Yang serba pedaaaaass.

Selain makan di rumah saudara, kami juga nyempetin ke resto-resto seafood yang murmer yang ada di sana. Kami memilih menu ikan bakar. Rasa ikannya .....huuaaa.....segeeeerr. Dagingnya empuk, lunak dan berasa banget segernya. Tak terlupakan. Mpe sekarang masih kebayang enaknya. Secara asli diangkut langsung segar-segar dari laut. Beda euy, sama ikan di Jakarta, yang konon udah mati keberapa kali.

Hari ketiga, kami mulai pesiar ke pantai. Pantai-pantai di Gorontalo itu banyaaaak, dan beberapa jaraknya deket-deket. Paling deket sekitar 20 menit dari kota. Itupun pantainya masih bersih dan jernih. Just info, kota Gorontalo itu kecil loh, kemana-kemana deket. Dan ga pake macet. Bikin betah kalo mau jalan-jalan keluar. Mau kemana-mana dalam hitungan menit juga sampe. Enak banget dah.

Dari hasil browsing di internet, kami mutusin ada 2 pantai yang kami tuju hari ini.
Yang pertama, pantai Botubarani. Pantai ini terkenal dengan hiu paus. Bisa browsing di internet pake keyword "pantai gorontalo hiu paus". Nanti keluaaar semua info tentang hiu ini.

Pengen tau seperti apa penampakan asli si hiu paus yang super jinak ini?
Dan pengen tau...gimana detik-detik bersejarah, saat saya berhasil ngelus-ngelus kepala si hiu?
Tunggu cerita selanjutnya yaa....




Ketika Saya Menjadi Aneh

27 April 2018 | comments




Ada saat dimana saya sedang kebingungan dengan diri sendiri. Seperti orang linglung.
Ngga jelas maunya apa. Dan yang pasti, saya kehilangan konsentrasi. Ngga fokus.
Orang ngomong apa, saya nangkepnya apa. Atau sebaliknya..

Saya mau ngungkapi sesuatu ke orang. Tapi yang keluar dari mulut, malah beda.
Walhasil, orang lain yang nanggepin jadi  ketimpa salah juga.
Padahal mah ya, kesalahan 100% ada di layar otak saya.
Yang kasihan, ya orang lain itu. Yang ada di sekitar saya.

Kalo udah gini, setelah ngalamin peristiwa yang ngga ngenakin, yang memang muaranya di saya sendiri. Setelah menyendiri, baru deh, saya nangis abis-abisan.
Nyesel kenapa saya jadi merepotkan banyak orang. Bikin kesel orang lain.
Menyusahkan banyak pihak.
Dan, ya, saya tipikal suka menyalahkan diri sendiri.

Jadi, sambil menangis, saya akan berpikir, bahwa saya tidak berguna.
Dan sepertinya dunia akan lebih baik tanpa keberadaan saya.
Im useless. No one need me.
Lebay  banget memang. Tapi, itulah kelemahan saya.

Saya yakin, kalau pikiran buruk seperti itu dibiarkan, akan muncul tindakan yang lebih berbahaya.
Dan ini, adalah siklus yang saya alami sejak dulu. Masa-masa dimana saya merasa hopeless and useless.

Obatnya, sederhana sebenarnya.
Cooling down dan berpikir hal yang indah-indah yang pernah ada dalam kehidupan saya.

Setelah nangis sepuasnya. Saya tarik napas dalam-dalam sambil istighfar.
mulai mengalihkan pikiran-pikiran negatif.
Saya mulai berpikir semua tentang pemberian Allah. Dari tubuh yang sempurna.
Organ-organ tubuh yang semuanya normal. Saya masih bisa bernafas dengan baik.
Mendengar, menghirup, beraktifitas, tanpa bantuan alat apapun.

Saya masih punya tempat untuk berteduh, punya kendaraan.
Saya masih dikelilingi orang-orang tercinta yang dengan tulus menyayangi saya.

Ah, sungguh. Masih terlalu banyak pemberian-Nya yang wajib saya syukuri.
Lantas kenapa saya masih berpikir bahwa tidak berarti?
Bukankah semua yang Allah ciptakan, tidak ada yang sia-sia. Termasuk diri ini.

Alhamdulillah, setelah refleksi sejenak, saya merasa kondisi hati saya lebih baik.
Mulai tenang, dan tidak berpikir yang aneh-aneh lagi.

Termasuk dengan menulis seperti ini, juga salah satu jalan untuk saya.
Melepaskan sisa-sisa energi negatif, yang sejak seharian ini bertumpuk.

Ya, setiap peristiwa adalah pelajaran.
Dan hari ini saya dapat pelajaran, bahwa untuk bab pengendalian emosi dan bab syukur, nilai saya masih minus.

Fiuh, semoga masih ada kesempatan untuk merubah nilai ini.





Lembaran Catatan

05 April 2018 | comments

Empat puluh dua tahun sudah, kehidupan berlalu.
Tak terasa.

Kucoba melihat catatan hidup tahun demi tahun.
Ya Allah, ingin kumenangis kencang.
Betapa catatan dosa dan keburukan lebih mendominasi catatan itu.

Dan ketika jatah hidup semakin berkurang.
Ketika masa untuk mengerjakan kebaikan akan segera berakhir.
Ketika waktu untuk bercengkerama dengan orang-orang tersayang, akan lenyap.
Ketika jejak langkah menuju alam barzakh semakin mendekat.

Sungguh, masa itu akan datang.
Masa yang sangat sangat aku takuti.

Masa ketika keluarga berkumpul dan menangisi detik-detik itu.
Masa di saat ruh akan ditarik oleh malaikat maut.
Masa ketika tubuh ini dimasukkan ke ruangan yang sempit dan gelap.
Masa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari malaikat.
Masa yang akan menentukan, apakah jiwa ini akan masuk ke taman surga atau ke lubang neraka.

Astaghfirullahal azhiim.

Ya Allah....
Sungguh, hanya dengan kemurahan-Mu, aku diijinkan hidup hingga detik ini.
Menghirup kasih sayang-Mu yang tak pernah putus sepersejuta detikpun.
Terima kasih Allah, ...
Masih ada hari untuk memperbaiki diri,
Menjalankan perintah-Mu, menjauhi larangan-Mu.

Mudahkan aku untuk selalu tetap dalam ketaatan kepada-Mu..
Hingga nanti, saat malaikat maut datang menghampiriku..
Tak ada lagi ketakutan itu...

Justru kedatangannya akan kusambut ..
Kusambut saat itu dengan penuh cinta dan suka cita...
Saat dimana aku akan segera kembali ke sisi-Mu...
Sang Maha Pencinta...




Belajar Bijak

12 March 2018 | comments

Ishh....judulnya dalemnya banget ya.
Ya, berbulan-bulan belakangan ini, mungkin lingkaran teman-teman yang pernah dekat dengan saya, heran dengan status-status saya di fb.

Isinya kalau bukan quote, ya, tulisan tentang motivasi, bisnis or refleksi diri.
Padahal, duluuuuuu, isinya mungkin lebih banyak curcol. Curcol kehidupan seorang emak dengan keempat anaknya.

Tapi sekarang, ya beda. Tapi memang kudu beda ah.
Secara makin lama makin tua, harus lebih tau diri. Kalo curcol ngga perlu diumumkan depan publik.
Cukup ditelen aja, sambil instropeksi diri sendiri. #ish, bijak banget yak

Etapi memang bener. Kadang, masalah-masalah yang bikin galau, gelisah, lemah, letih, lesu tak bergairah, itu memang pangkalnya dari diri sendiri kok.
Toh masalah itu, akan tetap ada dengan bentuk dan wujud yang berbeda.
Tinggal respon kitanya aja yang kira-kira bisa berubah ngga?
Lebih katrok atau lebih elegan? Lebih emosional atau lebih sabar?

Nah,  maka dari itulah, saya akhirnya lebih sering bikin quote.
Kebanyakan sih nyontek dari internet.
Paling backgroundnya, hurufnya, dan komposisi kalimat aja yang diubah-ubah dikit.
Biar lebih eye-catching.

Quote-quote itu lebih ditujukan ke saya sendiri. Cuma, sengaja saya pasang gede-gede di status fb or instagram, biar lebih banyak yang bisa merasakan manfaatnya. Walaupun memang, mungkin saja, kesannya jadi sok bijak.

Tapi, takpe. Saya ngga mau peduli sama penilaian orang.
Kalau ada yang nyinyir, monggo. Kalau ada yang suka dan terinspirasi, ya Alhamdulillah.

Oiya, sejak 3-4 bulan belakangan, saya mulai rajin browsing di pinterest. Dan, taukah anda, ternyata di pinterest, banyak bangeeeeet, quote-quote yang menarik, yang bikin segar mata, jiwa dan perasaan kita. Hehe, lebay ya.

Ember banget loh. Saya seger banget bacanya. Dan jadilah saya sekarang quote hunter di pinterest. Hehe. Tambah lagi, saya sekarang sedang kecanduan picsart. Wow, kombinasi maut. Bikin quote with picsart. Itulah yang belakangan menghabiskan waktu saya. Sampe lupa darat, laut maupun udara.
#tutupmukapakehape

Anyway, itulah saya belakangan ini.
Yang mau ceki-ceki quote hasil editan saya, sok meluncur ke fb dan ig saya @Astarina Laya.
Atau kalo mau seluncur di pinterest, coba pake keyword 'quote'.

Iya deh, demikian dari saya.
Have a wonderful day :)






Casa Meira

28 January 2018 | comments

Sudah lama dengar cerita tentang sebuah rumah cantik bernama Casa Meira.
Tapi baru kali ini, akhirnya, saya bisa merasakan dan menikmati sendiri seperti apa sensasi menginap di rumah ini. Halah. Lebay kali.

Eh tapi memang benar loh. Ceritanya, awal tahun kemarin, kami menyewa tempat ini.
Awal mobil mendarat di depan rumah, di malam hari, sudah terlihat kecantikan rumah ini. Sinar lampu taman yang remang, bikin terasnya keliatan romantis gitu.

Btw, perlu saya jelasin. Saya bukan orang yang punya sense of art. Ngga punya jiwa seni. Ngga ngerti tentang  komposisi warna dan desain untuk pengaturan ruang. Pokoknya saya bener-bener awam, untuk bab tersebut. Jadi tulisan ini asli dari sudut pandang ala emak-emak rempong nan rusuh.

Yang unik, kunci rumah ternyata sudah diletakkan di bawah pot teras rumah. Jadi kita ngga perlu ketemu sama pemilik or penjaga rumah.

Begitu masuk ke dalam rumah, bertambah lagi ketakjuban. Semua tertata rapi dan sangat bersih.
Ah, sulit ngomongnya. Alias males kalo ditulis. Bisa panjang kali lebar kali tinggi. Mending liat aja langsung foto-fotonya ya.

Oiya, karena hampir semua sudur rumah ini instagramble, jadilah saya manfaatin juga untuk foto-foto promo rokcel. Sambil menyelam minum teh anget gitu.

Satu lagi insight yang saya dapet dari hasil berhari-hari nginep di sini. Yang keliatan tuh, jiwa pelayanannya alias service customer yang luar biasa dari sang owner. Keliatan dari jamuan untuk tamu yang baru tiba, berupa dua botol besar juice dan infuse water yang cukup untuk diminum sekeluarga. Belum lagi fasilitas yang tersedia begitu lengkap, aturan-aturan yang tertulis dengan rapi dan detil. Penataan perabot yang luar biasa cantik.

Belum lagi ada buku panduan, semacam guide ke tempat wisata yang ditulis dalam album foto besar. Di situ jelas dan detil, deskripsi, lokasi (sampai ke titik koordinatnya), dan jarak tempat wisata tersebut dari casa meira. Wow, its really help. Terutama untuk turis lokal seperti kami yang buta daerah situ.

Keliatan banget deh, sang owner berusaha memenuhi semua kebutuhan penyewa. Dari kebutuhan informasi, sampai kebutuhan fisik.

Keren banget. Makasih ya owner Casa Meira. Saya sekeluarga ngga kapok berkunjung ke sana. Asli, sangat-sangat bikin terkesan.

Ok deh, berikut foto-foto yang bisa dinikmati.















 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Kehidupan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger