Ngga terasa, sudah tiga bulan lebih, anak-anak sekolahnya #dirumahaja.
Termasuk epaknya yang terpaksa, kerja dari rumah aja. Dah biasa banget deh, denger konfrens yang sahut-sahutan dari ruang depan dan belakang.
Trus, gimana kabar sang emak?
Seharusnya ya, dengan semua anggota keluarga ngumpul di rumah, mau tak mau kerjaan sang emak jadi melonjak tajam. Masak berulang, cuci piring yang ngga brenti-brenti, belum upacara beberes rumah dan nggosek kamar mandi. Plus cucian dan jemuran yang melambai-lambai minta disentuh juga.
Tapi, alhamdulillah, kondisi malah terbalik. Emak ngga capek, malah makin banyak me time.
Loh, kok bisa?
Ya, bisalah.
Caranya cuma satu harus TEGA.
Tega menyuruh anak-anak untuk bergantian mengerjakan tugas domestik sang emak.
Tentu saja sebelumnya mereka dikasih pengertian, kalo merawat rumah dan menjaga kebersihannya, adalah tanggung jawab 'SELURUH' anggota keluarga. Bukan cuma emaknya.
Jadi, sejak adegan sekolah #dirumahaja dimulai, sang emak udah bikin jadwal piket yang harus dikerjakan bergantian. Mulai dari masak sarapan, cuci piring pagi-siang-malam, buang sampah, lipat pakaian, sapu-pel, nggosek kamar mandi, angkat jemuran. Semua diserahkan ke anak-anak. Secara ada empat gitu loh. Sayang kalo ngga diberdayakan. Wkwkwk.
Lalu, emaknya ngapain dong. Ya emak bagian masak siang dan masak malam, plus cuci-cuci peralatan masak. Udah itu doang. Enak kan?
Abis itu emak bisa khusyuk balik lagi ke 'dunia'nya. Ngajar di kelas online, ngoreksi tugas peserta, desain flyer, rekaman materi kelas, sambil sesekali ngoprekin aplikasi.
Jadi ngga ada ceritanya, emaknya capek-capek, sedangkan anaknya cuma dibiarin leyeh-leyeh doang. Apalagi untuk anak yang usianya sudah di atas 8 tahun ke atas. Apalagi yang remaja. Mereka harus belajar dan dilatih untuk melaksanakan tugas-tugas rumah.
Ingat ya, ngga ada yang tau, apakah kita sebagai ortu bisa mendampingin anak selamanya.
Jika kondisi yang tidak diharapkan datang menimpa, misal ortu sakit, atau bahkan wafat. Anak-anak sudah terlatih dan terbiasa mengerjakan segala sesuatunya dengan mandiri. Tidak tergantung orang lain.
Seorang pakar pernah berkata, berilah anakmu tantangan satu tingkat di atas kemampuannya. Dan berikan anak fasilitas, satu tingkat di bawah kebutuhannya.
Artinya apa? Kasih tantangan, kasih kerjaan, kasih tugas yang berat. Misal anak bisanya ngepel satu kamar, ya harus bisa ngepel tiga kamar. Kalo dia mampunya cuma dua kamar, ya sudah, gapapa. Dihargai. Minimal dia berlatih mengerjakan sesuatu satu tingkat di atas kemampuannya. Nantinya dia akan terbiasa.
Dan urusan pengerjaan tugas standar menjadi hal ringan buat dia. Karena sudah TERBIASA melakukan yang lebih berat.
Sebaliknya, kalau anak butuh fasilitas, misalnya yaa...peralatan melukis yang super komplit. Dari canvas, kuas, cat yang high grade. Walaupun ortu mampu, ya ngga perlu disediakan secara komplit.
Sediakan saja peralatan yang sederhana.
Latih dia untuk melukis dengan hanya menggunakan peralatan secukupnya.
Jangan terbiasa memenuhi semua permintaan anak dengan cepat dan memanjakannya dengan aneka fasilitas.
Bahkan hal sepele, seperti jajan cemilan.
Biasakan anak supaya bisa menunda kesenangan.
Saya pernah membaca tentang penelitian yang dilakukan tim psikolog dari universitas ternama di barat sana di tahun 1970-an. Saya lupa negara apa. Intinya, tim peneliti melakukan riset terhadap sekelompok anak usia 4-7 th.
Tiap anak secara bergilir dimasukkan ke satu ruangan. Duduk berhadapan dengan meja yang diatasnya sudah diletakkan aneka cemilan.
Lalu anak itu dikasih petunjuk, bahwa mereka akan ditinggal sendirian dalam ruangan.
Tetapi mereka tidak boleh menyentuh dan memakan cemilan itu, sampai nanti diperbolehkan ketika ada tim yang masuk ke dalam ruangan tsb.
Apa yang terjadi?
Dari balik kamera tersembunyi, terlihat beberapa anak tidak sanggup menahan godaan. Ada yang langsung memakannya. Ada yang sekedar memegang-megang cemilan dulu beberapa saat, baru dimakan.
Tapi beberapa anak ada juga yang mampu menahan dirinya. Sama sekali tidak menyentuh cemilan tersebut, sampai anggota tim masuk kembali ke ruangan dan mengijinkannya memakan cemilan.
Puluhan tahun kemudian, tim tersebut mengontak anak-anak yang sudah berubah menjadi orang dewasa. Dan tahukah kita?
Segelintir orang dewasa yang dihubungi, berada di posisi orang sukses. Mempunyai pekerjaan mapan dengan kehidupan yang bahagia.
Ya, mereka yang sukses itu adalah jelmaan anak-anak yang mampu menahan keinginannya sekuat tenaga. Mereka TERLATIH untuk menahan keinginan dan MENUNDA kesenangan.
Menunda kesenangan akan membuat orang menjadi sosok yang kuat, yang terbiasa bekerja keras dan cerdas, sebelum menikmatinya.
Menunda kesenangan akan membuat orang terlatih untuk membelanjakan sesuatu yang sesuai dengan KEBUTUHAN bukan KEINGINAN.
Menunda kesenangan akan membuat orang terbiasa untuk MENGHARGAI apa yang sudah dimiliki.
Dalam Islam pun, di bulan Ramadhan, kita sudah dibiasakan selama satu bulan, untuk menunda salah satu kesenangan kita. Makan.
Dan memang, saat waktunya dibolehkan makan alias berbuka, kita cenderung menikmatinya dengan luar biasa, walau hanya segelas air putih biasa. Terasa sangat nikmat.
Menunda kesenangan memang susah. Tapi itu adalah skill yang harus dilatih. Untuk kita sendiri dan masa depan anak-anak kita.
Apalagi di jaman sekarang. Banyak sekali yang menawarkan kesenangan sesaat. Hanya untuk gaya hidup, atau sekedar mendapat pujian dari orang lain, rela terlibat utang alias kredit. Beli perlengkapan rumah tangga yang baru, ganti gadget, tukar mobil dengan keluaran terbaru. Hanya untuk memenuhi keinginan, bukan kebutuhan.
Dan terlihat pula efeknya di saat wabah pandemi seperti sekarang. Mereka yang survive biasanya adalah orang yang 'mampu menahan kesenangan'.
Tidak punya utang dan tidak terlibat riba.
Saya pernah membaca, keluarga pemilik puluhan properti mahal dengan penghasilan pasif mencapai setengah milyar perbulan (pasif loh ya, belum termasuk penghasilan aktifnya).
Memilih untuk tinggal di salah satu kamar kost miliknya.
Padahal, kalau dia mau, bisa saja beli rumah mewah besar di tengah kota.
Tau Warren Buffet? Salah satu orang terkaya di dunia, memilih untuk tinggal di rumah tua sederhana. Anak-anaknya pun dididik untuk hidup sederhana dan jauh dari bergelimang fasilitas.
Itu cuma segelintir sosok yang sukses, karena memiliki prinsip hidup "MENUNDA KESENANGAN'.
Jadi, yuk belajar lagi...belajar sama-sama...
Belajar tega dan belajar menunda kesenanganπ
#mywrite
#refleksidiri
#parentinglife
#belajarjadiorangtua
#belajarlebihbaik
#instropeksi
Post a Comment