Sekolah Alam
16 February 2014 | comments
Tadi abis ikutan sesi wawancara di SAI cabang studio alam. Sehari sebelumnya, saya sempat nelpon, nanya kalo anaknya perlu ikut atau tidak. Dan dijawab tidak perlu, karena yang akan diwawancara hanya ortu saja, yaitu si epak dan si emak. Ngga boleh cuma salah satu.
Wah, hebat juga ni sekolah, pikir saya. Lain dari yang lain. Sementara kebanyakan sekolah umumnya yang diseleksi dan ditest adalah calon siswanya....lah ini, malah ortunye. Ck ck ck.
Sampai di sana, saya dan suami berhadapan dengan dua orang guru. Seorang guru yang bertugasnya mewawancarai kami. Satunya lagi menulis. Sebelum bertanya, si guru biasanya mengawali dengan penjelasan singkat kondisi dan konsep-konsep yang diterapkan di sekolah alam seperti apa. Terus terang, saya suka sekali dengan penjelasan, bahwa di sekolah alam ini, akhlak dan kepemimpinan berada di urutan pertama dalam target pembelajaran siswa. Karena akhlak adalah suatu hal yang perlu proses panjang untuk sampai pada tahap melekat menjadi satu sikap yang menempel terus pada anak.
Adapun akademik, adalah sesuatu yang bisa dikejar dalam waktu singkat.
Bagaimana sang anak bisa berpikir, menganalisa suatu masalah, mengambil keputusan, menyelesaikan konflik, percaya dengan dirinya sendiri, bertanggung jawab dan mampu bersosialisasi dengan baik, itulah yang dijadikan patokan selama masa belajar di sekolah alam ini. Bukan semata-mata menekankan pada kemampuan menghitung, membaca, menghapal, menyelesaikan soal dan lain-lain yang sifatnya kognitif.
Wah, ini sih, sejalan banget dengan orientasi saya.
Pertanyaan yang diajukan, ngga jauh-jauh dari yang ada di benak saya. Seperti, pola asuh yang diterapkan di rumah seperti apa. Gimana tingkah laku anak sehari-hari di rumah. Bagaimana sikap ortu kalo anaknya terlibat kasus bully, atau misalnya si anak ternyata dari aspek akademik agak tertinggal dibanding temen lainnya.
Hehe, saya jawabnya lempeng. Pola asuh, sementara ini masih bebas. Dalam artian, anak-anak saya persilakan melakukan apapun di rumah. Mau bermain, mau nonton tivi, mau nge-game, mau nginternet....ya silakan saja. Selama makan dan tidur ngga dilupain.
Seperti si Muadz, yang beberapa bulan terakhir, lagi tergila-gila sama crafting. Yang namanya kertas, kardus, styrefoam, piring kertas....semua jadi bahan percobaan dia. Sambil nonton di youtube, si muadz ini, mulai bereksperimen. Bikin boomerang, pesawat kertas, katapel, ranjau, mobil-mobilan, rumah-rumahan, sampe spinner, semacam gasing yang dibuat dari kertas. Itu yang namanya lantai, always fullllll sama kertas dan kardus bekas potongan. Meja belajar saya pun tiap hari penuh dengan gunungan kertas.... -__________-; Tapi takpelah, kayak kata orang malaysia. Saya sih seneng aja kreatifitasnya bisa tinggi, walokate kadang-kadang bete juga liat kondisi rumah sudah seperti kapal pecah, karam, dan hancur berantakan. *lebay.com
Sampe berjam-jam, ini anak betaaaahh banget nge-craft. Ya, namanya juga kesenangan alias hobi. Padahal kalo di sekolah, kata guru TK-nya, giliran disuruh belajar iqro dan baca, pasti dia dah ngilang duluan. Entah kemana. Padahal tadinya keliatan sedang duduk manis. Hehe.
Nah, dalam hal bully, si guru nanya nih. Kira-kira gimana sikap yang diambil saya dan suami, seandainya anak kami dalam posisi sebagai pembully, atau sebagai korban bully.
Suami saya ngomong, bisa jadi anak jadi pembully, karena energinya yang mungkin saja amat sangat berlebih, kurang tersalurkan. Mungkin bisa dicarikan alternatif kegiatan. Seandainya itu anak saya, ya saya akan carikan kegiatan tambahan yang bersifat fisik di luar jam sekolah.
Trus gurunya nanya lagi, gimana misalnya kalo sebagai ortu pembully, kami dijadikan common enemy oleh para ortu lainnya. Catet ya para ortu. Secara anak-anak sendiri biasanya sangat mudah memaafkan.
Hehe, ini saya yang langsung nyamber jawab. Saya nyerocos saja jawab, pertama, yang jelas, saya akan nyelesain dulu masalah anak saya. Sampe dia bisa insap, ngga ngebully lagi. Kedua, kalo pun ternyata masih ada saja ortu yang menyimpan dendam, well, its not a problem. Saya paling ngga peduli dengan sikap orang terhadap saya. Apalagi kalo saya memang tidak melakukan perbuatan kriminal yang merugikan orang lain or maksiat yang dilarang agama. So whats the problem? Cuek aja. Hehehe.
Si guru cerita, kalo kasus ini pernah ada di sekolah alam pusat. Dan herannya, masalah di tingkat anak sudah selesai, tapi malah ortunya yang ngga selesai-selesai.
Yo weislah. Berikutnya, masalah anak yang tertinggal secara kognitif dibanding teman lainnya, saya dan suami sepakat, itu bukan masalah. Ada masanya anak-anak akan punya kemampuan akademik secara alami. Dan kalo masa itu sudah muncul, dia bisa dengan mudah mengejar ketertinggalannya.
Saya ngasih contoh anak saya pertama. Dia lahir dan besar di Jepang. Dia sekolah sampe kelas 3 SD di sekolah Jepang. Dan dia masih tidak bisa menulis dan membaca bahasa Indonesia ketika kami pindah ke Indonesia. Saya sendiri waktu itu ngga panik sama ketertinggalan anak saya. Waktu itu ya...saya berpikir, selama anak saya ngga punya motivasi untuk belajar baca tulis, ya saya pun ngga akan maksa. Karena percuma saja, yang ada saya yang darting, dan anak saya yang bete. Gara-gara dipaksa dan terpaksa.
Dan, syukurnya, ngga sampe dua bulan, anak saya bisa baca dan tulis sendiri dengan lancar. Tanpa perlu manggil guru privat, dan sayapun ngga perlu capek marah-marah. Itu karena dia sendiri yang termotivasi untuk belajar bhs Indonesia. Secara di sekolahnya, semua anak pastinya sudah bisa baca tulis lancar. Kelas 4 SD gitu loh. Walhasil karena dia sendiri yang gambatte belajar, Alhamdulillah, ketertinggalan itu bisa dia kejar dalam waktu singkat. Yaaa...paling kosa kata aja sih yang dia masih suka bingung.
Cuma, khusus untuk muadz ini, saya belum tau modelnya seperti apa. Model yang harus diarahin, didampingin terus menerus, atau cukup dibiarkan saja seperti kakaknya itu.
Yaaa....apapun itu, sekarang ini yang ada dipikiran saya, semoga semua anak-anak saya menikmati masa kanak-kanak mereka dengan enjoy. Tanpa tekanan, tanpa paksaan. Menikmati masa-masa sekolah sesuai tahapan perkembangan usia mereka. Menjalani proses pembelajaran dengan senang hati, dengan keceriaan, dengan senyum dan tawa bahagia........
*gambar dari sini
Post a Comment